[caption caption="Fatkhul Huda dan Batik Pekalongan (foto dokpri)"][/caption]Bertemu dengan Fatkhul Huda, di sebuah kafe di Jakarta akhir pekan kemarin, seperti melihat sebuah nyala api semangat. Anak muda kelahiran Pekalongan Jawa Tengah ini bicaranya runut, bersemangat saat bercerita mengenai batik di tanah kelahirannya. Batik bagi Huda dan keluarga adalah nafas hidupnya. Sejak kecil ia dan keluarganya hidup dari batik, bertumbuh dan kemudian menerima tongkat estafet di bidang yang ia cintai tersebut.
Ada nada kebanggaan dari ceritanya yang mengalir. Ia bangga karena batik makin diakui, makin banyak yang mencintai. Terutama setelah penetapan Hari Batik Nasional di awal bulan Oktober tiap tahunnya. Dulu batik hanya dikenakan oleh kalangan tertentu saja, di saat-saat tertentu pula. Kini batik sudah makin memasyarakat. Digunakan hampir semua lapisan masyarakat tanpa terkecuali.
Di balik kebanggaannya terhadap Batik, terselip kegundahan di hati Huda. Bukan tentang nasib bisnis batik keluarganya. Tapi pada nasib industri rumahan batik tulis dan nasib perajinnya. Meski pamor batik tengah naik, namun industri rumahan batik tulis menghadapi tantangan yang cukup pelik. Mulai dari kain mori (kain polos bahan batik) yang harganya fluktuatif.
[caption caption="Gaya Huda saat Jelaskan Soal Batik Pekalongan (foto dokpri)"]
"Kain mori yang bagus harganya kerap naik tiba-tiba, kapas sebagai bahan baku kainnya kan impor. ini yang membuat harga kain mori naik turun. Ini kan menyulitkan para perajin batik tulis yang umumnya bukan pengusaha besar," ujar Huda yang sudah memiliki seorang putri ini.
Selain itu, tantangan lainnya datang dari pewarna yang digunakan. Umumnya pewarna yang bagus kualitasnya masih harus didatangkan dari luar negeri, seperti dari India. Menurut Huda, hingga kini pewarna batik yang baik memang belum bisa dihasilkan dari dalam negeri. Ini juga jadi problem yang belum ada solusi praktisnya.
Nasib Para Penjaga Tradisi
Hal lain yang juga menjadi persoalan yang menjadi perhatian Huda adalah nasib para perajinnya. Para perajin batik tulis sebenarnya merupakan tulang punggung di dalam bisnis batik. Namun sejauh ini ia dan banyak kalangan melihat nasib para perajin begitu-begitu saja dari tahun ke tahun. Tak banyak berubah.
Padahal, para perajin adalah penjaga tradisi yang membuat batik tetap eksis hingga kini. Kenyataan ini setidaknya menjawab pertanyaan mengapa tak banyak generasi muda yang mau menekuni profesi sebagai perajin batik tulis.
[caption caption="Tebak Berapa Harga Selembar Kain Batik ini? (foto dokpri)"]
Keberlangsungan tradisi memang menjadi isu yang tak pernah selesai. Di banyak daerah, persoalan ini juga menjadi perhatian dan keprihatinan banyak pihak. Tanpa ada political will dari pemerintah, kerajinan batik tulis bukan tidak mungkin hanya akan menjadi bagian dari sejarah negeri ini, dan kita hanya akan jadi penonton di rumah sendiri.