Menyambangi Benteng Bersejarah
Tim kami kemarin sempat berkunjung ke sebuah benteng peninggalan zaman Belanda yang kami gunakan sebagai destinasi wisata sejarah, yakni benteng Van der Wijk di kota Gombong, Jawa Tengah. Hampir saja kami gagal mengeksplor peninggalan sejarah dan budaya masa lalu ini karena kami tiba di lokasi sudah cukup sore, sekitar pukul 16.30 WIB. Seorang petugas keamanan akhirnya mengizinkan kami masuk setelah kami bujuk beberapa saat.
Komplek benteng ini selain terdiri dari Benteng Van der Wijk juga terdapat taman bermain dan hotel yang disewakan untuk umum. Benteng Van der Wijk sendiri adalah salah satu peninggalan kolonial Belanda yang berada di dalam komplek Sekolah Calon Tamtama TNI (Secata) di Gombong dan masuk ke wilayah kabupaten Kebumen Jawa Tengah.
[caption id="attachment_365616" align="aligncenter" width="650" caption="Mampir di Van der Wijk (foto : koleksi pribadi)"]
Benteng berbentuk segi delapan ini punya ciri khusus yang membedakan dengan benteng peninggalan kolonial Belanda lainnya. Yang paling kentara adalah soal warna dindingnya yang dominan berwarna merah bata. Dari jarak tertentu kita akan langsung mengenali bangunan benteng karena warnanya.
Benteng ini luasnya sekitar 7.168 meter persegi. Memiliki tebal dinding 1.40 meter, tebal lantai 1.10 meter dan memiliki dua lantai. Lantai dasar berisi sejumlah ruangan berbagai ukuran dan memiliki 63 pintu. Sementara di lantai atas memiliki berbagai ruangan dengan 70 pintu penghubung.
Meski di bagian tembok depan benteng tertulis benteng dibangun tahun 1818 masehi, namun menurut keterangan pihak pengelola Benteng Van der Wijk diperkirakan dibangun pada masa perang Diponegoro (1825-1830). Ini berdasarkan dokumen sejarah dan temuan lain yang mendukung keberadaan benteng ini.
Meskipun tergolong peninggalan bersejarah yang terkait dengan politik Benteng Stelsel yang pernah dilakukan oleh pemerintah Kolonial Belanda, sayangnya kondisi benteng amat memprihatinkan. Banyak bagian benteng yang rusak. Mulai dari pintu yang copot, jeruji jendela yang hilang entah kemana, tembok berlumut hingga digunakannya atap benteng sebagai tempat wisata kereta-keretaan.
Saya kurang mengerti apa urgensinya membuat atap benteng menjadi tempat wisata kereta api bagi anak-anak. Karena penggunaan bagian benteng apalagi di bagian atap yang menghasilkan getaran secara terus-menerus akan mempengaruhi struktur bangunan benteng. Mestinya jika ingin menjadikan kunjungan wisata, keberadaan benteng dan tempat bermain anak dipisahkan.
Kontur Jalan Buruk, Berkelok-kelok
Puas menjelajahi benteng Van Der Wijk, kamipun melanjutkan perjalanan ke arah Tasikmalaya. Sepanjang perjalanan tidak terhitung berapa banyak jalan rusak yang kami lalui. Ada yang lubang-lubang kecil, menengah hingga lubang menganga berukuran besar menghadang perjalanan. Jika tak sigap dan sabar, bukan hanya masalah kenyamanan yang jadi taruhan, namun juga keamanan para penumpangnya.