[caption id="attachment_365613" align="aligncenter" width="650" caption="Ini Datsunku, Mana Datsunmu (foto : koleksi pribadi)"][/caption]
Hari ketiga perjalanan para riser dalam Kompasiana blog Trip bareng Datsun Go+Panca secara umum berjalana lancar. Perjalanan kali ini adalah tahap kedua dari perjalanan Jakarta-Jogjakarta-Jakarta. Jika sebelumnya rute yang dilalui 9 riser adalah kawasan Pantai Utara Jawa (Pantura), maka sejak kemarin rute berubah yakni jalur Selatan Jawa.
Setelah berkemas dari Edu Hostel tempat 2 tim menginap, kami langsung lanjutkan perjalanan menuju dealer Datsun Mlati Jogjakarta. Di tempat ini kami diterima staf dan karyawan Nissan-Datsun dengan ramah. Kami juga bertemu dengan supervisor Datsun Mlati Ludovicus Giri Aggregata yang banyak bertanya mengenai perjalanan kami sepanjang pantura menggunakan Datsun Go+Panca.
[caption id="attachment_365614" align="aligncenter" width="650" caption="Di Dealer Nissan-Datsun Mlati Jogja (foto: koleksi pribadi)"]
Mas Giri juga membeberkan sejumlah tips berkendara nyaman dengan Datsun Go+Panca di jalur yang tak bersahabat seperti pantura yang sepanjang jalannya rusak parah. Pengenalan medan menurutnya sangat penting. Pengemudi dituntut cermat mengendarai mobilnya dan tidak tergoda asal cepat melalui medan jalan yang rusak.
Selain berkunjung, kami juga sempat berfoto bersama dan ditraktir makan siang di sebuah rumah makan tak jauh dari dealer Nissan-Datsun. Untuk sambutan dan traktirannya, makasih ya mas Giri.
Cuaca Lebih Bersahabat
Berbeda dengan saat melintasi jalur Pantura Jawa, di jalur selatan cuaca kemarin lebih bersahabat. Sejak berangkat dari hotel hari lebih cerah, Matahari pun menemani sepanjang perjalanan. Hanya di beberapa spot tertentu hujan kecil sempat turun. Namun dibandingkan di etape pertama Pantura, hujan kemarin relatif tidak terlalu mengganggu.
Soal cuaca sejak awal sudah jadi concern kami semua peserta. Beberapa kawan juga mewanti-wanti agar kami mewaspadai faktor cuaca dalam perjalanan panjang seperti #JejakParaRiser ini. Apalagi kami berpetualang di tengah musim hujan sedang lucu-lucunya. Sehingga semua tim mesti melakukan antisipasi ekstra soal cuaca.
Cuaca ekstrem yang hujan terus menerus sepanjang perjalanan sudah sempat kami alami. Sejak start di kantor Nissan-Datsun di Jl.MT.Haryono Jakarta, mendung, gerimis hingga hujan sangat deras menjadi bagian perjalanan kami. Ini terjadi sejak kami keluar dari tol Cikampek hingga sampai di meeting point pertama di kota Tegal, Jawa Tengah.
Nah, di jalur selatan Jawa yang kami lalui sejak kemarin, perjalanan punya cerita berbeda. Cuaca tidak jadi faktor penghambat lagi, namun justru kondisi jalanlah yang menjadi pe-er sepanjang perjalanan antara Jogja hingga kota Tasikmalaya, Jawa Barat.
Menyambangi Benteng Bersejarah
Tim kami kemarin sempat berkunjung ke sebuah benteng peninggalan zaman Belanda yang kami gunakan sebagai destinasi wisata sejarah, yakni benteng Van der Wijk di kota Gombong, Jawa Tengah. Hampir saja kami gagal mengeksplor peninggalan sejarah dan budaya masa lalu ini karena kami tiba di lokasi sudah cukup sore, sekitar pukul 16.30 WIB. Seorang petugas keamanan akhirnya mengizinkan kami masuk setelah kami bujuk beberapa saat.
Komplek benteng ini selain terdiri dari Benteng Van der Wijk juga terdapat taman bermain dan hotel yang disewakan untuk umum. Benteng Van der Wijk sendiri adalah salah satu peninggalan kolonial Belanda yang berada di dalam komplek Sekolah Calon Tamtama TNI (Secata) di Gombong dan masuk ke wilayah kabupaten Kebumen Jawa Tengah.
[caption id="attachment_365616" align="aligncenter" width="650" caption="Mampir di Van der Wijk (foto : koleksi pribadi)"]
Benteng berbentuk segi delapan ini punya ciri khusus yang membedakan dengan benteng peninggalan kolonial Belanda lainnya. Yang paling kentara adalah soal warna dindingnya yang dominan berwarna merah bata. Dari jarak tertentu kita akan langsung mengenali bangunan benteng karena warnanya.
Benteng ini luasnya sekitar 7.168 meter persegi. Memiliki tebal dinding 1.40 meter, tebal lantai 1.10 meter dan memiliki dua lantai. Lantai dasar berisi sejumlah ruangan berbagai ukuran dan memiliki 63 pintu. Sementara di lantai atas memiliki berbagai ruangan dengan 70 pintu penghubung.
Meski di bagian tembok depan benteng tertulis benteng dibangun tahun 1818 masehi, namun menurut keterangan pihak pengelola Benteng Van der Wijk diperkirakan dibangun pada masa perang Diponegoro (1825-1830). Ini berdasarkan dokumen sejarah dan temuan lain yang mendukung keberadaan benteng ini.
Meskipun tergolong peninggalan bersejarah yang terkait dengan politik Benteng Stelsel yang pernah dilakukan oleh pemerintah Kolonial Belanda, sayangnya kondisi benteng amat memprihatinkan. Banyak bagian benteng yang rusak. Mulai dari pintu yang copot, jeruji jendela yang hilang entah kemana, tembok berlumut hingga digunakannya atap benteng sebagai tempat wisata kereta-keretaan.
Saya kurang mengerti apa urgensinya membuat atap benteng menjadi tempat wisata kereta api bagi anak-anak. Karena penggunaan bagian benteng apalagi di bagian atap yang menghasilkan getaran secara terus-menerus akan mempengaruhi struktur bangunan benteng. Mestinya jika ingin menjadikan kunjungan wisata, keberadaan benteng dan tempat bermain anak dipisahkan.
Kontur Jalan Buruk, Berkelok-kelok
Puas menjelajahi benteng Van Der Wijk, kamipun melanjutkan perjalanan ke arah Tasikmalaya. Sepanjang perjalanan tidak terhitung berapa banyak jalan rusak yang kami lalui. Ada yang lubang-lubang kecil, menengah hingga lubang menganga berukuran besar menghadang perjalanan. Jika tak sigap dan sabar, bukan hanya masalah kenyamanan yang jadi taruhan, namun juga keamanan para penumpangnya.
[caption id="attachment_365617" align="aligncenter" width="650" caption="Suasana Jalan Jalur Selatan Jawa (foto: koleksi pribadi)"]
Suasana jalanan sebenarnya relatif tidak sepadat saat musim liburan. Di beberapa tempat kami masih berpapasan dengan truk-truk berukuran besar. Butuh nyali tersendiri berpapasan dengan 'penguasa jalan' seperti itu. Tak ada cerita sopir truk mau mengalah demi memberikan jalan bagi kendaraan kecil lainnya.
Berkaca pada pengalaman, tiap kali berpapasan dengan truk besar laju kendaraan terpaksa dikurangi untuk memberi kesempatan mereka jalan lebih dulu. Sebab lebar jalan yang tak seberapa amat berbahaya bagi kendaraan berukuran kecil jika harus berhadapan dengan kendaraan berbadan super lebar.
[caption id="attachment_365618" align="aligncenter" width="650" caption="Berkendara Malam Mesti Ekstra Hati-hati (foto: koleksi pribadi)"]
Oiya ada kerepotan tersendiri berkendara di malam hari, terutama jika jalur yang kita lewati minim penerangan jalan. Resiko paling umum adalah body bagian bawah mobil berbenturan dengan aspal. Itu juga kali alami di beberapa bagian jalan. Lubang jalan yang menganga dan tidak kelihatan dengan mata telanjang membuat kami beberapa kali terkaget-kaget saat mobil terkena benturan cukup keras di jalanan berlubang.
Jalur Cilacap menuju Tasikmalaya menurut kami adalah jalur tersulit yang kami lalui sejak dari Pantura. Jalan yang berkelok-kelok dengan tikungan yang cukup tajam memacu adrenalin kami semua. Beberapa kali mesti menahan napas saat bersisian dengan kendaraan lain terutama truk dan bus antar kota lantaran jalur yang sempit dan kami sama-sama nekat bersisian.
[caption id="attachment_365615" align="aligncenter" width="650" caption="Lampur Jalan Minim di Jalur Selatan (foto: koleksi pribadi)"]
Saat di Wado hampir saja mobil yang kami tumpangi menabrak mobil dari arah berlawanan. Saat itu mobil hendak menyalip sebuah truk yang jalannya teramat pelan. Saat posisi sudah menjajari truk, tiba-tiba muncul mobil di depan tanpa kami ketahui sebelumnya.
Rupanya akibat penerangan yang minim kami tak mengetahui di depan ada tikungan yang cukup tajam. Hanya dalam hitungan detik mobil kami secara teori bakal terjepit jika kami tak sigap menggenjot pedal gas lebih dalam. Alhamdulillah kami masih diberi selamat dan masuk di celah depan truk tadi.
Lepas dari situasi 'nyaris celaka' membuat Ofi rekan kami yang membawa mobil sedikit menurunkan tensi ketegangan dengan memperlambat laju kendaraan. Suasana yang sudah larut, lelah yang mendera membuat kami terpacu segera menjejakkan kaki di Tasikmalaya, meeting point ketiga. Tepat tengah malam akhirnya kami tiba di kota Tasik. Dan baru sekitar pukul 01 dinihari kami berhasil mendapatkan penginapan.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H