Mohon tunggu...
Syahzmil
Syahzmil Mohon Tunggu... Lainnya - Mahasiswa Ilmu Politik Universitas Indonesia

Mencoba menyalurkan ilmu dan pemikiran melalui tulisan

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Dari Faksi hingga Diversity

24 Oktober 2024   00:10 Diperbarui: 24 Oktober 2024   01:03 33
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilmu Sosbud dan Agama. Sumber ilustrasi: PEXELS

Agustus lalu, keputusan Partai Buruh Australia (Australian Labour Party/ALP) untuk tidak mencantumkan pertanyaan mengenai LGBTQIA+ mengundang penolakan dari berbagai kalangan. Sebelumnya, frontbencher ALP di Parlemen, Jim Chalmers dan Richard Marles, mengungkapkan bahwa keputusan itu diambil untuk menghindari perdebatan yang memecahkan bangsa. Argumen ini dianggap Anna Cody selaku Sex Discrimination Commissioner sebagai keputusan yang "dangkal" karena menjadi bagian dari eksklusi pada masyarakat. Secara bersamaan, anggota parlemen independen kekecewaannya terhadap keputusan ini melalui surat yang dikirimkan kepada Asisten Bendahara Andrew Leigh. 

Selain dari pihak yang berbeda, penolakan muncul dari internal ALP itu sendiri. Setidaknya 6 backbencher, Josh Burns, Alicia Payne, Michelle Ananda Rajah, Jerome Laxale, Peter Khalil, dan Ged Kearney menyampaikan keberatan. Kearney menganggap sensus menjadi hal krusial dalam perumusan kebijakan publik. Dilansir dari ABC News, Josh Burns mempertanyakan keputusan janji yang disampaikan selama masa kampanye. Kekecewaan ini kiranya dapat dipahami mengingat ALP mencantumkan komitmen untuk mengumpulkan data penduduk LGBTQIA+ dalam sensus penduduk 2026 di rancangan program pemerintahan. 

Asal Muasal Perbedaan 

Perbedaan bukan menjadi hal baru di dalam partai satu ini. Sejak berdiri tahun 1890, ALP terdiri dari campuran kelompok radikal, pro buruh, sampai sosialis yang berasal dari pekerja (workers) serta kelas menengah perkotaan hingga rural Australia (Smith, 1989). Kelompok sosialis berusaha mengganti sistem politik serta ekonomi, sedangkan para radikal dan pro buruh ingin diwakili dalam parlemen agar sejajar dengan para pemilik modal. Secara lembaga, ALP terdiri dari perkumpulan gereja (charist), gerakan serikat pekerja, dan sosialis revolusioner.

Secara ideologis, sosialisme menjadi fundamen awal partai yang ditetapkan tahun 1920, berfokus pada isu distribusi kekayaan. Setelah perang dunia II, komposisi partai berubah signifikan setelah para kelas menengah dari beragam profesi bergabung. Mereka membawa isu-isu isu-isu "kerah putih", seperti lingkungan, feminisme, seksualitas, dan pendidikan yang cukup untuk memantik ketegangan antara "kerah biru" dan "kerah putih". Perubahan ini terjadi hingga dalam parlemen ditandai perubahan jajaran parlemen yang sebelumnya berasal dari kelompok kerah biru dengan pendidikan rendah menjadi professional berpendidikan tinggi. 

Transformasi terjadi didasari juga oleh faktor ekonomi yang membaik pasca PD II. Distribusi ekonomi lebih baik sehingga melahirkan kelas menengah baru yang juga memantik fokus isu yang lebih luas (Scalmer, 1997). Oleh karena itu, fundamen partai jauh berubah di tahun 1980 menjadi luas dengan fokus penghilangan eksploitasi. Nilai sosialisme yang fleksibel ini menjadi sebuah keunggulan ALP yang dapat menaungi berbagai golongan dari poros politik yang berbeda. 

Tak sedikit dari kita mungkin bingung mengapa perbedaan atau "perdebatan" mengakar di partai satu ini. Secara kelembagaan, ALP melandasi pengambilan keputusan dengan model conference-center, bukan leader-centered. Mekanisme pengambilan keputusan dilakukan melalui konferensi partai setiap dua tahun yang dihadiri oleh perwakilan cabang daerah bersama organisasi underbow. Hasil konferensi yang sudah disepakati forum akan dipertimbangkan oleh ALP National Executive untuk nantnyai menjadi agenda utama partai. Dalam hal ini, ketua partai tidak memegang kontrol tunggal sehingga sangat mungkin untuk tidak setuju atas keputusan perdana menteri atau ketua partai, seperti dalam kasus Sensus 2026. 

Keberagaman Menurut Andrew Leigh

Berkaca pada pembahasan di atas, titik intereksi terletak pada isu mengenai keberagaman, secara etnik, gender, dan pemikiran. ALP memiliki budaya yang dapat dikatakan mengakomodasi kepentingan seluruh pihak tanpa meninggalkan siapapun, no one leave behind. Andrew Leigh, asisten Menteri Kompetisi, Amal dan Perbendaharaan, menjadi salah satu figur yang vokal membicarakan mengenai topik-topik ini. Meski berlatar belakang studi ekonomi, Leigh memiliki pandangan sosial yang tetap memperhatikan aspek-aspek keadilan. 

Dalam salah satu publikasinya yang berjudul Innovation + Equality, Leigh berusaha "mengevaluasi" bagaimana sebuah kemajuan, ekonomi dan teknologi, terkadang melupakan aspek distribusi berdampak pada ketimpangan. Di lain kesempatan, saat diwawancara oleh Radio ABC mengenai multikulturalisme, Leigh menyampaikan bahwa pengakuan terhadap perbedaan menjadi dasar untuk menghindari perpecahan sosial. Setelah itu, penyatuan di dalam masyarakat juga diperlukan untuk membangun keharmonisan dalam perbedaan. 

Pembahasan yang lebih luas, Leigh juga mengkritisi bagaimana multikulturalisme belum terlembaga dalam representasi di institusi negara. Di 2021, Leigh mempublikasi artikel mengenai kurangnya perwakilan ras non-putih di dalam lembaga yudikatif, Pengadilan Tertinggi Australia. Budaya-budaya egaliter menjadi aspek utama agar keberagaman mampu mengakomodir kehidupan multikultural. Membahas keberagaman, rasanya kurang bila tidak membahas terkait isu gender. Dalam salah satu pidato di House of Representative, anggota dewan satu ini memaparkan bagaimana terdapat ketimpangan gaji yang diterima oleh laki-laki dan perempuan. Baginya, permasalahan ini bukan hanya "milik" perempuan, melainkan bagi laki-laki. Padahal secara ekonomi, dari lingkup negara, kota, hingga daerah urban seluruh pihak yang melibatkan perempuan akan jauh lebih produktif dibandingkan hanya mempekerjakan laki-laki. Begitupun dalam ranah politik, anggota parlemen perempuan cenderung memiliki kinerja lebih baik, sekalipun gender gap masih terjadi dalam proses representasi. 

Meski tidak secara eksplisit, melihat dari pemikiran dan statement yang dikeluarkan, dapat dipahami Leigh sebagai orang yang mengimani keberagaman dalam politik. Terlihat bahwa pendekatan kesetaraan diutamakan sehingga tidak terjadi diskriminasi dalam proses politik. Gaya berpolitik seperti ini lahir dari budaya diskusi ALP yang conference-centered didasari oleh budaya egaliter sesuai ideologi kiri. Pandangan ini pun tidak terbatas hanya pada gaya diskusi, melainkan diimplementasikan dalam membangun kebijakan yang memerhatikan seluruh pihak tanpa leaving no one behind. Dari sini, perlu kiranya politik negara-negara lain untuk menerapkan pemahaman keberagaman dan perbedaan sehingga pemahaman kritis serta check and balance tetap berjalan. 

Mengaitkan sedikit ke negara penulis, yaitu Indonesia. Pendekatan keberagaman sekiranya akan sulit untuk diterapkan dalam politik Indonesia yang masih feodalistik. Relasi patron-klien yang mengakar secara tidak langsung aktor-aktor politik untuk patuh pada "arahan" patron mereka. Hal ini terlihat dari gaya kelembagaan partai yang lebih condong ke leader-centered, tidak seperti ALP. Begitupun berkaitan isu, keberagaman terkadang hanya menjadi "gimik" dalam politik Indonesia, tanpa benar-benar merepresentasikan kelompok tersebut. Isu-isu gender dan seksualitas rasanya belum benar-benar diupayakan dan implementasikan dalam kebijakan di Indonesia. Pendekatan leaving no one behind pun belom dapat diterapkan, seperti terlihat dalam mandeknya pembahasan RUU PRT yang ditujukan untuk menjamin kelompok-kelompok rentan di sektor informal. Namun, melalui perspektif komparatif, setidaknya rangka politik Australia (terutama ALP) dapat menjadi referensi untuk mengkonstruksikan politik Indonesia dengan gaya yang lebih baru dan kritis. Mulai dari lembaga, budaya, hingga isu politik di Australia sangat dapat diterapkan oleh Indonesia, bila ingin menjadikan politik sebagai alat perjuangan, bukan hanya alat transaksi. 


Referensi

Dhanji, K., & Crowley, T. (2024, August 29). Labor faces fresh internal backlash over gender and sexuality in census. ABC. https://www.abc.net.au/news/2024-08-29/labor-faces-lgbtq-census-backlash/104288430

Gans, J., & Leigh, A. (2020). Innovation + Equality: How to Create a Future That Is More Star Trek Than Terminator. MIT Press.

Leigh, A. (2021, Desember 22). Judging Diversity. Andrew Leigh. https://www.andrewleigh.com/judging_diversity

Leigh, A. (2022, June 30). Multiculturalism makes us more dynamic, interesting, and affluent nation - Transcript, ABC Radio Brisbane. Andrew Leigh. https://www.andrewleigh.com/multiculturalism_makes_us_more_dynamic_interesting_and_affluent_nation_transcript_abc_radio_brisbane

The Party System. (1989). In R. Smith & L. Watson (Eds.), Politics in Australia (pp. 110-125). Allen & Unwin.

Scalmer, S. (1997). The Affluent Worker or the Divided Party? Explaining the Transformation of the ALP in the 1950s. Australian Journal of Political Science, 32(3). DOI: 10.1080/10361149750823

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun