Pendidikan Islam memegang peranan penting dalam membentuk individu dan masyarakat yang berkarakter Islami. Namun, dalam pelaksanaannya, pendidikan Islam sering menghadapi berbagai tantangan, salah satunya adalah konflik. Konflik ini dapat muncul akibat perbedaan pandangan, kebijakan, atau nilai-nilai yang dipegang oleh berbagai pihak yang terlibat dalam pendidikan, baik pada tingkat individu, institusi, maupun masyarakat. Konflik semacam ini tidak hanya terjadi di lembaga pendidikan formal seperti sekolah atau madrasah, tetapi juga di ranah pendidikan nonformal, seperti pesantren dan komunitas masyarakat. Â
Pengertian konflik
Dalam bahasa Yunani, istilah konflik berasal dari kata confligere atauÂ
conflictum, yang bermakna saling berbenturan atau mengejutkan satu sama lain.Â
Dalam bahasa Inggris, conflict merujuk pada ketidaksepakatan, perbedaanÂ
pendapat yang serius, atau pertentangan antara harapan, keinginan, maupun argumen.
Secara etimologis, konflik dapat dimaknai sebagai perselisihan, perbedaan pandangan, atau ketidaksepakatan antara dua pihak atau lebih, yang dapat memicu pertengkaran atau pertentangan. Sedangkan secara terminologi , konflik merujuk pada bentuk interaksi manusia yang mengandung sifatÂ
berlawanan, yang tampak dalam perbedaan pendapat atau perilaku sehari-hari.Â
Manusia pada dasarnya selalu terlibat dalam konflik, karena menurutÂ
al-Qur'an, manusia memiliki potensi besar untuk terjadinya konflik. Hal iniÂ
dijelaskan dalam Surat Al-Kahfi ayat 54.
"Sungguh, Kami telah menjelaskan segala perumpamaan denganÂ
berbagai macam cara dan berulang-ulang kepada manusia dalam Al-Qur'an ini.Â
Akan tetapi, manusia adalah (makhluk) yang paling banyak membantah".
Ayat tersebut juga didukung oleh sejumlah hadis, salah satunya dariÂ
Ibnu Abbas yang menyatakan, "Tidak ada makhluk yang lebih cenderung padaÂ
konflik dibandingkan manusia".
Pernyataan Ibnu Abbas ini menunjukkan bahwa perbedaan pendapat atauÂ
pertentangan merupakan bagian dari sifat dasar manusia sebagai makhluk sosialÂ
dengan berbagai keinginan, kebutuhan, dan pandangan yang sering kali tidakÂ
selaras. Dalam ajaran Islam, konflik dipandang sebagai hal yang lumrah, asalkan diselesaikan dengan cara yang bijak dan tidak melampaui batas. AlQur'an menekankan pentingnya menjaga perdamaian dan keadilan dalamÂ
menghadapi perbedaan.
Macam-macam konflik dalam lembaga pendidikan islam Ada banyakÂ
jenis konflik berdasarkan sudut tinjauan yang digunakannya. Ditinjau dari segiÂ
fungsinya ada dua jenis konflik, yaitu 3:Â
1. konflik konstruktif dan destruktif.Â
a. Konflik konstruktif adalah konflik yang memiliki nilai positif bagi pengembangan organisasi. Dengan konflik justru mendatangkan manfaat.Â
b. Konflik destruktif adalah konflik yang memiliki nilai negatif bagi organisasi yang mendatangkan kerusakan.
2. Ditinjau dari pihak yang berkonflik ada lima jenis konflik yaitu:
1. Konflik Intrapersonal
Konflik ini terjadi dalam diri individu ketika ia dihadapkan pada dua pilihan atau keinginan yang bertentangan. Misalnya, ada seorang guru ingin melanjutkan pendidikan S2 untuk pengembangan profesional, tetapi khawatir tidak dapat mengatur waktu dengan tugas mengajarnya.
2. Konflik Interpersonal
Konflik yang muncul antara dua individu akibat perbedaan kepentingan, kebutuhan, atau pandangan. Misalnya,KetidaksepahamanÂ
antara seorang kepala sekolah dan guru mengenai penggunaan anggaran sekolah, seperti prioritas pembelian buku atau pembangunan fasilitas.
3. Konflik antara Individu dengan Kelompok
Jenis konflik ini terjadi ketika seorang individu tidak memenuhi ekspektasi kelompoknya. Contoh: Seorang guru yang sering absen dariÂ
rapat rutin sekolah mendapat teguran dari kelompok guru lain yang merasa ia tidak berkontribusi terhadap program bersama.Â
4. Konflik antar Kelompok dalam Organisasi yang Sama Konflik yang melibatkan dua atau lebih kelompok dalam satu organisasi akibat perbedaan kepentingan atau tujuan. MisalnyaÂ
Ketegangan antara tim pengajar dan staf administrasi tentang pengelolaan data siswa, di mana masing-masing merasa metodenyaÂ
lebih efektif.
5. Konflik antar Organisasi
Konflik ini terjadi antara dua atau lebih lembaga pendidikan akibat persaingan atau ketidaksepakatan. Misalnya ada Dua sekolahÂ
Islam di wilayah yang sama bersaing untuk mendapatkan siswa baru, sehingga terjadi saling klaim terkait kualitas dan keunggulan masing masing.
Teori konflik menyoroti dominasi, tekanan, dan kekuasaan dalam masyarakat, di mana perbedaan otoritas menciptakan hierarki antara kelompok yang berkuasa (superordinasi) dan yang dikuasai (subordinasi). Ketidakseimbangan ini sering memicu konflik akibat benturan kepentingan, baik dalam bentuk konflik kelas, etnis, gender, maupun ideologi. Konflik tidak selalu bersifat merusak, melainkan dapat mendorong inovasi, reformasi, atau perubahan sosial yang mendasar.
Dalam konteks pendidikan Islam, teori ini relevan untuk memahami dinamika di lembaga pendidikan. Ketegangan sering muncul akibat perbedaan pandangan tentang kurikulum, peran guru, dan distribusi sumber daya pendidikan. Misalnya, sekolah Islam di perkotaan biasanya memiliki fasilitas dan kualitas pengajaran yang lebih baik dibandingkan dengan di pedesaan, sehingga menciptakan ketidaksetaraan yang dapat menimbulkan konflik internal maupun eksternal, termasuk dengan pemerintah atau masyarakat.
C. Faktor penyebab adanya konflikÂ
Menurut Thomas Santoso (2001:65), konflik dapat terjadi karena beberapa faktor berikut:
1. Struktur Kelompok
Struktur kelompok mencakup ukuran kelompok, tingkat spesialisasi anggota, kejelasan pembagian tugas, kesesuaian antara tujuan anggota dan kelompok, gaya kepemimpinan, sistem penghargaan, serta tingkat ketergantungan antaranggota. Penelitian menunjukkan bahwa semakin besar ukuran kelompok dan semakin terspesialisasi tugas-tugasnya, semakin besar kemungkinan konflik muncul.
Misalnya Dalam organisasi yang memiliki banyak divisi, konflik dapat timbul ketika divisi-divisi tersebut saling bergantung namun memiliki tujuan yang tidak sejalan, atau ketika pembagian tugas tidak terdefinisi dengan baik, sehingga memicu saling menyalahkan ketika pekerjaan tidak selesai sesuai jadwal.
2. Faktor Pribadi
Setiap individu memiliki sistem nilai dan karakteristik kepribadian yang unik. Perbedaan ini dapat memunculkan persepsi adanya konflik dalam kelompok, yang disebut perceived conflict. Jika individu merasa terlibat secara emosional hingga timbul perasaan cemas, tegang, atau frustrasi,Â
konflik ini berkembang menjadi felt conflict, yaitu konflik yang dirasakan secara emosional.
3. Komunikasi yang Buruk
Komunikasi yang tidak efektif, seperti kesalahpahaman, informasi yang tidak lengkap, atau gangguan dalam proses komunikasi, dapat menjadi sumber konflik.
4. Perbedaan Individu
Setiap orang memiliki pandangan dan perasaan yang tidak selalu sama. Perbedaan ini sering menjadi sumber konflik, terutama ketika berkaitan dengan opini atau sikap terhadap suatu hal yang muncul dalam hubungan sosial. Â
5. Perubahan Nilai yang Cepat dan Mendadak.Â
Perubahan dalam masyarakat merupakan hal yang wajar, namun jika terjadi dengan cepat atau tiba-tiba, hal ini bisa menimbulkan konflik sosial. Contohnya, dalam keluarga, perbedaan pendapat mengenai pola asuh anak dapat menyebabkan konflik antar pasangan. Salah satu pihak mungkin lebih memilih pendekatan disiplin yang ketat, sementara pihak lainnya lebih santai dan permisif. Â
6. Perbedaan Latar Belakang KebudayaanÂ
Latar belakang budaya yang berbeda dapat memengaruhi kepribadian seseorang, menghasilkan beragam pemikiran dan pandangan. Perbedaan budaya ini sering kali menjadi penyebab perbedaan individu yang berpotensi menimbulkan konflik. Â
7. Perbedaan Kepentingan Individu atau KelompokÂ
Setiap individu dan kelompok memiliki pandangan, perasaan, serta latar belakang budaya yang beragam, sehingga tujuan mereka pun bisa berbeda. Terkadang, tindakan yang sama dilakukan oleh beberapa orang, tetapi de
ngan tujuan yang berbeda, yang kemudian dapat menjadi sumber konflik.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H