Mohon tunggu...
Syahtila Rajabi
Syahtila Rajabi Mohon Tunggu... Lainnya - Manusia Biasa.

Tak Akan Ada Rasa Cukup Dalam Menulis. Terus Berusaha Membuat Tulisan Yang Bagus Dan Enak Dibaca.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Cerpen | SOCA: Masa Depan Anastasia (Part 4)

11 Juli 2020   10:47 Diperbarui: 11 Juli 2020   11:09 94
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

24/7/2007 23:00
Rumah Sakit Mitra Utama

Soca terjebak dalam lift rumah sakit, Ia tak bisa pergi kemana mana karena ada sesosok makhluk yang menimpa lift sehingga lift tak bisa bergerak. "Sial Hendrik," Geram Soca. "Aku rasa aku akan menggunakan satu peluru ini untuk membunuh makhluk ini. Mati kau!" Soca pun mengarahkan pistol nya kearah lubang yang ada diatas lift dan peluru itu tepat mengenai makhluk itu.

"AAAAARGH!!!" Makhluk itu berteriak kesakitan dan Soca pun segera menekan tombol naik pada lift, namun lift sudah tak bisa berfungsi lagi, "Sial, bagaimana ini?"

Sementara Soca sibuk untuk keluar dari lift yang macet, di kamar 147 lantai 3, kamar yang kosong dan dingin tanpa ada secerca cahaya sama sekali. "Bagaimana Nona? Apakah kau akan memberikan mata itu padaku? Aku memohon dengan sangat padamu, Aku akan sedih jika kau menolak permohonanku ini." Rayu Hendrik dengan liciknya. Grise hanya bisa diam untuk menahan tangisnya yang sudah tak terbendung.

"Apa jika aku memberikannya kau akan membebaskanku?" Tanya Grise sedikit memelas. Mendengar perkataan itu Hendrik tersenyum, sungguh sebuah senyum yang membuat siapapun geram. "Ohoho tentu saja aku akan membebaskanmu, tapi apa yang akan kau lakukan setelah bebas? Apa kau yakin akan tetap hidup setelah kubebaskan?" Kata Hendrik dengan nada menyeramkan.

"Aku,,,Aku tidak menginginkan mata ini, sudah sejak lama aku tersiksa karenanya, Kenapa? Kenapa harus aku yang memilki ini? Kenapa harus aku yang tersiksa karena semua ini? Apa salahku sehingga aku mendapatkan ini semua? Aku tak tahu harus apa, apa aku harus senang dengan pemberian ini? Atau aku harus sedih? Tolong akhiri penderitaanku ini Tuan." Kata Grise sambil terisak.

Senyum mengerikan timbul di wajah Hendrik, dengan matanya yang bulat menambah kengerian dirinya. Dibalik bayangan dirinya yang misterius, ia menyembunyikan seribu kengerian. Entah apa yang sudah membuatnya menjadi seperti sekarang ini, yang pasti, tak ada kebaikan di dirinya lagi. Hendrik bagaikan makhluk penuh dosa yang beruntung karena masih bisa berjalan di bumi Tuhan.

"Baiklah kalau itu maumu aku bisa apa, tenanglah ini tak akan menyakitkan." Hendrik perlahan menggerakkan tangannya, memperkecil jaraknya dengan Grise sehingga ia bisa dengan mudah mengambil mata itu. Grise hanya bisa merasakan kengerian yang sedang terjadi, karena matanya tertutup perban yang ketat, namun itu tak akan berlangsung lama.

"Tuan Soca, terima kasih karena telah peduli padaku, Aku tahu kau adalah orang baik. Maka dari itu, aku tak mau melibatkan mu lebih jauh lagi. Aku sangat berterima kasih. Selamat Tinggal." Kata Grise pelan.

'DORR!!!' Sebuah bunyi yang mengagetkan menggema di dalam ruangan. Hendrik terkejut untuk sesaat karena peluru itu tepat mengenai tangannya. "Cih meleset, kali ini pasti akan kena." Gumam si empunya bunyi tadi. Wajah Hendrik yang tadinya terkejut perlahan kembali tenang, "Heh sudah kuduga bahwa memasang jebakan sekalipun akan tidak berguna. Ya kan Soca?" Ucap Hendrik dengan nada santai.

"Aku rasa itu ada gunanya, aku jadi bisa melakukan pemanasan sedikit sekaligus mencoba pistol ini. Bagaimana Hendrik rasanya pistol ini?" Dengan tenang Soca mendekati Hendrik. Ia tahu bahwa mendekati Hendrik bisa menjadi bahaya bagi dirinya, tapi semuanya sudah diperkirakan olehnya. "Baiklah Hendrik, aku rasa hidupmu selesai sampai disini saja." Kata Soca sambil menodongkan pistol itu kearah Hendrik.

Mendengar ucapan Soca membuat Hendrik terkekeh, "HAHAHAHAHA Jangan membuatku tertawa lebih keras lagi tolong, perut ku tak kuat menahan semua ini. Kau? Ingin membunuhku? Ingatlah Soca, aku ini bukan lagi makhluk hidup, aku ini hanya kematian yang kebetulan masih bisa berjalan di bumi ini," Kata Hendrik sambil menahan tawanya. "Tapi, biarpun kau memang bisa membunuh kematian itu sendiri, aku tak akan menyerahkan diriku dengan mudah."

Kini giliran Hendrik yang mendekati Soca, memperkecil jarak antara mereka. "Aku harap kau tidak lupa sebenarnya aku ini apa." Kata Hendrik berbisik tepat di telinga Soca. "Baiklah tak usah bertele-tele. Ayo Soca, kita akhiri ini sesegera mungkin, aku sudah tak sabar ingin memiliki mata gadis itu." Hendrik melompat mundur dan segera memasang ancang-ancang.

Suasana menjadi hening tanpa adanya suara. Jarah antara Soca dan Hendrik cukup jauh, tentu ini akan menguntungkan Soca karena ia akan menggunakan pistolnya dan mungkin ini adalah akhir bagi Hendrik. Mata mereka saling menatap, menyelam kedalam gelapnya malam, menggali masa lalu yang sudah dilupakan.

"Terima ini!" Hendrik melompat dengan cepat menuju Soca, dengan cepat juga Soca menarik pelatuk pistolnya. 'DORR!' Lagi lagi suara tembakan menggema di ruangan. Hendrik pun tersungkur dari pijakannya, tergeletak dengan darah menggenang. Soca segera menghampiri Grise yang ternyata sudah menangis sedari tadi. "Kau tidak apa apa? Biar aku lepas ikatannya." Soca segera melepaskan ikatan pada tangan Grise. Tapi...

"Aagh!" Soca menjerit kesakitan. Soca reflek mengarahkan pistolnya dan berbalik badan. "Sial, ternyata yang tadi itu belum cukup ya Hendrik? Sesuai perkiraanku." Kata Soca sembari menahan rasa sakitnya. Kini, berdiri didepannya sosok Hendrik yang berbeda dari sebelumnya, bahkan kini ia lebih menyeramkan lagi. Soca pun menembakkan pistolnya kearah Hendrik, namun Hendrik yang sudah melepaskan kekuatan aslinya mampu menghindari semua tembakan itu dengan cepat.

"Sial kau Hendrik." Gumam Soca kesal. Didalam ruangan yang sempit mereka bertarung dengan sengitnya. "Sudah berapa peluru yang kubuang buang, aku harus mengakhiri ini sekarang juga." Soca pun berlari menuju Hendrik begitupun Hendrik yang begitu cepat melompat kearah Soca. "Rasakanlah kematian Hendrik!!" Teriak Soca sambil menancapkan Kerisnya kedada Hendrik.

"AAAAAGH!" Hendrik berteriak dengan kencang. Dengan segera Soca mengeluarkan pistol nya dan menembakkan peluru terakhir itu tepat di kepala Hendrik, "Dengan begini, berakhirlah sudah."

'DORR!!' Lagi lagi suara tembakan menggema di ruangan itu. Hendrik pun menghilang bagaikan abu yang tertiup angin. Soca yang sadar akan luka yang semakin mengeluarkan darah perlahan melemah, ia pun tersungkur. Pandangan Soca perlahan mulai menggelap semuanya begitu gelap.

"Tuan Soca? Tuan? Apakah anda baik baik saja?" Tanya Grise sedikit berteriak, "Siapapun tolong! Tolong!!" Dengan segenap kekuatannya Grise berteriak minta tolong. Teriakan itu terdengar sampai keluar rumah sakit sampai sampai Arya yang sedang tertidur di mobil langsung terbangun dan berlari menuju asal suara.

"Apa yang sudah terjadi diatas sana? Soca bertahan lah, Aku akan segera sampai." Gumam Arya dalam hati. Arya segera berlari menuju sumber suara.

"Tuan Soca, bertahanlah sedikit lagi, aku mohon." Ucap Grise tanpa bergerak sedikit pun karena dirinya masih dalam posisi terikat di kursi. "Maaf aku telat, apa yang sudah terjadi?" Arya datang dengan terengah-engah, "Soca?! Bertahanlah sebentar lagi aku akan berusaha mengobati mu." Arya segera mengeluarkan alat pengobatan yang ia miliki untuk menutup luka Soca.

"A-Arya, apa gadis itu baik baik saja?" Ucap Soca sambil menahan sakit. "Iya dia baik baik saja, justru kau yang tidak baik baik saja." Balas Arya cemas. Soca mengalihkan pandangannya ke arah Grise yang masih terikat dikursi, "Arya, setidaknya lepaskanlah ikatan pada gadis itu."

"Eh??" Arya kaget karena tidak memperhatikan Grise yang sedari tadi terikat di kursi. Setelah Arya mengobati luka Soca, ia langsung membuka ikatan pada Grise, "Maaf maaf tadi aku tidak memperhatikanmu, aku terlalu khawatir tadi. Maaf ya hehe." Ucap Arya sembari menahan malunya. "Hmm, tidak apa apa Tuan Arya."

"Soca sini kau biar aku bantu kau berjalan."

"Tidak usah, sejak kapan kau jadi peduli begitu kepada ku? Lebih baik kau tuntun gadis itu, apa kau tidak lihat perban itu masih menutupi matanya. Tak usah khawatir, luka seperti ini tidak akan membunuhku." Ucap Soca sembari berjalan meninggalkan dua orang dibelakangnya.

"Baiklah Nona Grise, izinkan aku membantu mu." Ucap Arya dengan nada seromantis mungkin. Grise yang mendengar itu berusaha menolak dengan sesopan mungkin, namun ketika ia baru ingin menolak bantuan itu, Arya sudah menggendongnya dengan gaya bridal style. "Ehm, Tuan Arya tidak perlu repot repot." Ucap Grise malu malu.

"Sudahlah kau hanya cukup diam dan menikmati, Nona." Ucap Arya sembari berjalan menuju rumah sakit terbengkalai itu.

Bersambung...

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun