Mohon tunggu...
Syahtila Rajabi
Syahtila Rajabi Mohon Tunggu... Lainnya - Manusia Biasa.

Tak Akan Ada Rasa Cukup Dalam Menulis. Terus Berusaha Membuat Tulisan Yang Bagus Dan Enak Dibaca.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Cerpen | SOCA: Masa Depan Anastasia (Part 3)

25 Juni 2020   19:05 Diperbarui: 25 Juni 2020   19:10 100
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber: Dok pribadi

24/7/2007 19:00

Malam ini terasa berbeda, aku merasakan hal buruk akan terjadi. Hatiku menjadi was-was, karena selama ini firasat ku tak pernah salah. Aku pun mempercepat laju mobil untuk lebih cepat sampai di Toko dan memberitahu Arya. Aku harap gadis itu tidak apa apa.

Sementara itu…

Gelap…
Aku sendirian disini dan aku lapar. Apa laki laki itu belum pulang juga? Aku takut sendirian.
Aku takut untuk melihat hal hal menyeramkan itu lagi. Apa benar mereka akan menolong ku?
Pikiran ku kacau sekali malam ini, mungkin aku harus mencoba untuk tidur. Kepalaku pusing dan seperti berputar-putar. Apa yang sedang terjadi?

“Aargh!!” Aku berteriak kesakitan. Sungguh kepalaku sangat sakit, rasanya kepala ini ingin pecah. Kepalaku seperti ditusuk tusuk oleh jarum, sungguh sakit sekali. Aku sesekali berteriak karena sakit dan berharap ada orang yang membantuku.

‘Cklek…kriiet’

Ada seseorang yang membuka pintu. Aku berusaha merangkak mendekati pintu. “Tuan tolonglah aku, kepala ku, kepala ku sakit sekali. Tolonglah aku.” Kataku sambil menahan sakit yang tak tertahankan ini. Tak ada jawaban sama sekali, kali ini ia lebih cuek dari tadi pagi. Aku merangkak mendekati nya, dan tanganku berhasil meraih kakinya.

Aku tak bisa berdiri karena kepalaku terlalu sakit. Tiba-tiba aku merasakan tangan kasar dan dingin memegang lenganku. Tangan iu membantu ku berdiri lalu aku merasa tubuhku diangkat dan digendong dengan kasar. Aku baru saja dibawa keluar dari kamar itu, aku merasakannya. Aku merasakan sedang dibawa keluar dari tempat ini.

Aku melihat cahaya lampu yang sangat terang. Ditengah kebingungan dan rasa sakit ini, aku mendengar suara yang kukenal, “Hendrik!! Lepaskan dia!” Itu adalah suara Tuan Soca.

24/7/2007 21:00
Di Toko Souvenir no.64 Jl. Serikat

Aku segera turun dari mobil dan langsung membuka pintu took, dan yang pertama aku lihat sungguh tak kuduga, “Hendrik!! Lepaskan dia!” Ya, aku melihat Hendrik dengan gadis itu di gendongannya. Mataku melotot tak percaya, “Dimana Arya?? Apakah dia masih bermeditasi? Aku tak akan memaafkannya.”

“Hai Soca, maafkan aku telah mengganggu penyelidikan mu. Tapi mengumpulkan anomali adalah pekerjaan ku, dan aku sangat menyukai sesuatu yang dimiliki oleh gadis ini. Mata Takdir adalah kemampuan spesial dan tak sembarangan orang boleh memilikinya,” Kata Hendrik dengan nada yang mengerikan.

“Aku tak akan membiarkan mu mengambilnya!”

“Tuan Soca…” Kata gadis itu pelan.

“Sungguh disayangkan, aku akan mengambil semua yang aku sukai.” Kata Hendrik dengan nada menyeramkan.

Aku pun mulai mendekat kearah Hendrik dengan cepat untuk merebut gadis itu. Namun sebelum aku mendekatinya, Hendrik menjetikkan jarinya dan tiba tiba lampu ruangan mati. “Sial, apa yang sudah dia lakukan?” Kata ku kesal. Aku segera menyalakan lampu kembali dan menemui Arya di ruangannya. “Arya dimana kau?! Berhentilah bermeditasi!” Ketika aku sampai di ruangannya, ia tidak ada sama sekali.

Aku segera berjalan kembali untuk mengejar Hendrik dengan mobil. “Sial, aku lupa mencabut kuncinya.” Aku segera menuju mobil yang masih terparkir di depan toko dan aku lihat Arya ada didalam mobil. Kemana saja dia dari tadi?

“Hei Soca! Ayo cepatlah, aku rasa Hendrik masih belum jauh.” Panggil Arya sambil menyalakan mobil.

Aku segera menaiki mobil, “Kemana saja kau? Aku ingin memberikan map berisi data gadis itu.”

“Maaf maaf, tadi aku habis mengurus ini,” Kata Arya sambil mengeluarkan sebuah pistol dari jasnya.

“Pistol? Untuk apa?” Tanyaku.

“Hendrik. Pistol ini berisi peluru emas.” Jawab Arya.

“Hah, aku rasa Keris ku saja cukup!”

“Dengar Soca, Hendrik bukanlah makhluk yang bisa kau tangani dengan Keris mu. Dia berbeda.”

“Sial. Lalu apa yang kau mau?” Tanyaku

“Apa kau masih belum mengerti juga? Tembaklah dia dengan pistol ini, ada 9 peluru dan aku rasa itu lebih dari cukup untuk membunuhnya.”

“Baiklah.” Kata ku sambil tersenyum.

Tiba tiba ponsel ku berdering, ada telepon masuk dari nomor tak dikenal. Aku segera mengangkatnya, “Aku sekarang berada di Rumah Sakit.” Suara yang tak asing. “Hei Hendrik awas saja kau sampai macam-macam! Aku akan—“

‘Tiit.’

“Sial dia mematikan teleponnya. Arya, kita harus ke rumah sakit!” Suruhku. Arya langsung menancapkan gas lebih dalam dan melaju cepat ke rumah sakit. “Ada apa sebenarnya di rumah sakit itu? Aku merasa rumah sakit itu seperti memiliki pengaruh dari semua hal yang terjadi.” Kata Arya sembari menyetir.

“Tadi aku sempat pergi kesana untuk mencari data gadis itu. Dan mengenai apa yang katakan itu, aku juga merasa aneh ketika masuk lagi kesana. Suasana yang berbeda dari kemarin malam.”

“Sebentar lagi kita akan sampai di rumah sakit itu. Soca, bersiaplah.” Kata Arya tanpa menoleh. Akhirnya kami pun sampai di depan rumah sakit. Aku lalu mengambil pistol itu dan memasukkannya di dalam jaket ku.

Aku melangkahkan kaki ku masuk ke dalam rumah sakit terbengkalai ini. Sekarang aku sedang berdiri di lobby rumah sakit, mata ku menjelajah setiap sudut ruangan. ‘Ddrrt…’ Ponselku kembali berdering. Dengan cepat aku mengambil ponselku dan terlihat ada panggilan masuk dengan nomor berbeda. Dengan segera aku jawab panggilan itu.

“Hendrik, dimana kau? Muncullah!”

“Aku di Kamar 147. Temukanlah aku walaupun itu tidak mudah. Berhati-hatilah. Aku tak akan menahan diriku lebih lama lagi.”

“Dasar kau, Hendrik.”

Kamar 147, lagi lagi disitu. Aku segera berlari menuju lantai dua menggunakan tangga. Saat ingin menuju lantai 2, tangga itu dipenuhi makhluk makhluk yang marah. “Sial, kemarin tidak begini,” Gumam ku sambil mengeluarkan keris pusaka ku. “Hanguslah kalian semua!” Seketika semua makhluk-makhluk itu terbakar menjadi abu dan menghilang.

“Aku harus cepat!” Aku menaiki tangga dengan berlari dan tibalah aku dilorong yang gelap bahkan lebih gelap dari sebelumnya. “Wahai keris terangilah jalan atas kegelapan ini!” Keris pusaka menyala terang dan menghilangkan aura kegelapan yang ada dilorong itu. Sekarang aku harus menuju kamar 147 yang ada dideretan ke 111.

“101…102…103…104…105…106…107…108…109…110…111?” Hitunganku berhenti di angka 111 dan ada satu hal yang mengejutkan ku. “Nomor ruangannya bukan 147 tapi 111? Apa yang sebenarnya terjadi?” Tanpa berpikir lagi aku segera membuka kamar nomer 111 itu dan ternyata hanya berisi satu kursi kosong di tengah.

‘Ddrrt…’ Telpon ku lagi lagi berbunyi dan dengan segera aku angkat. “Hendrik apa yang telah kau lakukan? Aku tahu ini adalah salah satu dari akal busuk mu bukan. Akan kuhabisi kau!” Tak ada balasan kata-kata yang kudapat, hanya ada suara tertawa Hendrik yang menyebalkan. “Dasar kau Hendrik!”

“Jika kau ingin dia selama, cepatlah ke kamar 147 di lantai 3”

Untuk sementara aku terkejut, “Lantai 3?” Tanyaku. Tanpa pikir panjang aku langsung berjalan lurus menelusuri lorong gelap itu dan ternyata ada sebuah lift di ujung lorong. Dengan segera aku memasuki lift itu untuk pergi ke lantai 3. “Kenapa ada lift dilantai 2? Kenapa tidak langsung dilantai 1 saja? Apa jangan jangan ini adalah jebakan dari Hendrik?”

Dan benar saja, semuanya telah aku perkirakan. Tiba-tiba lift itu berhenti dan aku mendengar geraman dari atas kepalaku. “Akan aku habisi kau Hendrik, akan ku akhiri semuanya disini.”
Dan tiba-tiba saja ada sesuatu yang besar menimpa lift.

Bersambung…

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun