Syukur, Anggi langsung menuruti perintahku. Ia langsung mematikan memasukkan kembali kameranya.
"Kanaya, apa kau membawa kuncir rambut?" tanyaku.
Kanaya mengeluarkan sebuah kuncir rambut beludru berwarna hitam dari kantong jaketnya. Aku melepaskan ikat pinggangku, mengikatkan ikat rambut milik Kanaya di bagian tengahnya. Kemudian kedua ujungnya aku selipkan pada jendela mobil.
"Kanaya, letakkan ponselmu pada ikatan kuncir rambut ini, sebagai pengganti penerangan. Posisi ini cukup tinggi untuk menerangi sebagian kabin mobil. Jika nanti baterainya habis, ganti dengan ponsel milik pak Lukman." Pandanganku langsung beralih pada pak Lukman. Semua orang setuju dengan pendapatku dan mematikan setiap senter yang masih menyala
"pak, bisa kita bicara sebentar?" pintaku pada Lukman.
Aku memang sedikit kesulitan untuk menghadapi Lukman. sejak berangkat tadi, Ia selalu ingin diprioritaskan.
"pak," kataku. Sebelum aku pergi menyusul Fred "sebelumnya aku meminta maaf atas kejadian membuat perjalananmu menjadi tidak nyaman. Tapi ini semua diluar rencana"
Awalnya Lukman sedikit ngotot, tapi aku berhasil meredakan emosinya.
"Disini peranmu bukan hanya seorang ayah dari Kevin ataupun suami dari mbak Prita" tuturku. Pak Lukman mencerna dengan baik setiap perkataan yang keluar dari mulutku.
"kau adalah lelaki. Aku adalah lelaki," lanjutku, seraya mencengkram pundak Lukman sedikit keras, sebagai isyarat bahwa aku mempercayainya. "aku minta tolong agar kita berperan sebagaimana mestinya seorang laki-laki. Sebagai pemimpin dan pelindung."
Tatapan Pak Lukman semakin mantap. Ia setuju.