Mohon tunggu...
Syahrul Chelsky
Syahrul Chelsky Mohon Tunggu... Lainnya - Roman Poetican

90's Sadthetic

Selanjutnya

Tutup

Puisi Pilihan

Buku Harian Musim Dingin: Sajak-Sajak Moon Chung-hee

28 Maret 2021   14:09 Diperbarui: 28 Maret 2021   14:16 498
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Diterjemahkan dengan bebas dan keterbatasan.

Cinta Musim Dingin

Seperti serpihan-serpihan salju,
aku ingin datang kepadamu.
Tanpa keraguan.
Tanpa pengembaraan.
Tanpa merahasiakan apapun.

Aku rindu masuk
ke dalam hidupmu yang putih
dan menjelma musim dingin yang hangat.
Aku merindukan salju selama ribuan tahun.

Memori

Satu orang pergi
dan seluruh Seoul terasa kosong;
tiba-tiba dunia berubah menjadi layar buram.

Apa yang kau tinggalkan
ialah memori magis
yang takkan meleleh sampai kapan pun.

Hari ini aku membakar tubuhku
dengan kobarannya.

Buku Harian Musim Dingin

Telah kuhabiskan musim dingin ini
dengan berbaring.
Aku kehilangan seseorang
yang kucinta--
monolog-monolog yang berakhir
yang kugulung, bersinar seperti tasbih; angin yang berhenti bertiup, telah kuhabiskan musim dingin ini dengan nyaman, dengan berbaring.

Bahkan kala pohon-pohon telanjang
di halaman menangis
karena mereka kedinginan,
bahkan ketika mereka berubah hutan,
bersandar dari satu ke yang lain--
tak ada hubungannya dengan mereka,
aku takkan tergerak untuk membuka pintu meski hanya sekali;
seperti seekor ruminansia,
yang kubawa hanyalah kematian untuk dikunyah.

Telah kuhabiskan musim dingin ini dengan nyaman, berbaring.
Saat aku kehilangan seseorang
yang kucinta.  

Mencintai Langit

Aku mencintai langit,
tapi agaknya cinta itu terlalu menguasaiku,
takjub akan kilaunya.

Turunnya hujan atau salju
selalu membuat hidupku repot.
Rumah rendah, pakaian tipis
takbisa menghindari tatapan
tajamnya bekas-bekas luka.

Semuanya membiru.
Mungkin bekas kerinduan
pada warna kulitnya.

Hari ini, di kamarku yang tenang,
di bawah naungannya yang lembut,
aku menulis puisi tentang dia seperti ini; apakah karena dia juga mencintai napasku?

Tembang Cinta untuk Bukit Perbatasan

Di kedalaman musim dingin,
sewaktu aku melewati Hangyeryong,
bukit perbatasan, bersama orang yang kucinta, aku masuk ke dalam
badai salju yang tak terduga.

Beberapa saluran berita bersaing
untuk mereportasekan salju terparah dalam sedekade. Terbatuk-batuk bersama,
mobil-mobil kembali ke tempat,
tapi aku memilih bertahan,
dilewati batas-batas Hangyeryong.

Oh, pengasingan yang membutakan-- yang jadi takdirku, bukan kaki-kakiku, yang berpijak di sini,
dalam dongeng daratan yang dikelilingi salju di keempat penjurunya.

Ketika hari dengan cepat berubah gelap,
salju yang berlimpah ruah perlahan-lahan
akan menjadi teror
dan kenyataan akan mulai mencetak warna ketakutan.

Bahkan saat helikopter terlihat,
aku takkan melambaikan tangan,
bahkan ketika ia menjatuhkan makanan untuk burung-burung liar dan hewan-hewan yang terjebak salju.

Bahkan saat helikopter,
yang menabur bom asap
kepada kehidupan baru,
anak-anak belia itu
membagikan ransum-ransum
secara merata dengan penuh belas kasih
untuk makanan harian
dari bahan rusa dan burung pegar,
aku takkan menunjukkan keliman pakaianku.

Aku tak tahu harus bagaimana
dengan berkah yang singkat ini,
terkurung oleh Hangyeryong yang indah
dengan kerelaan.

Sekolah Pohon

Akan kupelajari seni bertambah tua dari pepohonan. Setiap tahun aku bertumbuh tua sebagaimana usiaku bertambah--
Mulai sekarang tak lagi ada penjumlahan sederhana. Aku akan mengukir usiaku di dalam diriku, seperti sebuah pohon.

Ketika aku berjalan di antara pepohonan yang hijau, saat sebatang ranting menyentuh pundakku dengan pelan, saat musim gugur menjatuhkan tangannya padaku dengan lembut, saat ucapan "aku mencintaimu" darinya menembus jantungku, saat aku berkata, "Senyum," untuk mengabadikan momen di belakang sebuah latar pepohonan, pohon-pohon tumbuh tanpa mengungkapkan usia mereka, membentengi candi kuno- seperti pepohonan muda yang dipenuhi harapan.

Akan kupelajari seni bertambah tua dari pepohonan, mengukir tahun-tahun yang telah lewat ke dalam diriku-- tentu saja untuk menjadi lebih hijau dan subur di tahun berikutnya.

*****

Moon Chung-hee, salah satu penyair kenamaan Korea Selatan. Salah satu penyair wanita tebaik dunia. Ia juga merupakan seorang profesor di Universitas Dunggok, Seoul. Karya-karyanya telah diterjemahkan ke dalam banyak bahasa besar seperti Inggris, Spanyol, dan Prancis.

Di Korea, ia tercatat sebagai sastrawan berpengaruh dengan menerima Penghargaan Puisi Sowol, Penghargaan Sastra Kontemporer, Penghargaan Sastra Jeong Ji Young, dan Penghargaan Sastrawan Terbaik.

Di kancah dunia, ia pernah dinobatkan sebagai sastrawan terbaik di Forum Sastra Internasional di Tetovo, Makedonia, serta Cikada Prize, sebuah penghargaan sastra dari Swedia untuk para penyair Asia Timur.

Versi bahasa Inggris dari puisi ini diambil dari Korean Poetry in Translation.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Puisi Selengkapnya
Lihat Puisi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun