Dengan bahasa yang sedikit vulgar, saya menangkap ia perlahan-lahan menguak perihal ketidaksetaraan gender serta fundamentalisme agama dan politik identitas.
Mengapa Luka Tidak Memaafkan Pisau (M. Aan Mansyur)
Di sini, Aan tidak lagi sebagai seseorang yang hatinya dipatahkan oleh cinta dan ketidakmampuan memiliki. Dalam buku yang berisi empat puluh satu sajak ini, Aan tampak dipatahkan oleh lebih banyak hal tanpa meninggalkan karakteristik sajaknya yang membedakan ia dari penyair lain. Beberapa sajak di dalam buku ini juga menggambarkan rasa bangga Aan sebagai seorang suami dan ayah, kehangatan dalam keluarga, dan tentu saja kritik kepada kota kelahiran yang semakin mematahkan hatinya.
Almon yang Mekar dan Hal-hal Lainnya (Mahmoud Darwish)
Dalam buku yang mencakup delapan bagian ini, Mahmoud Darwish seolah sedang mencari denyut kehidupan dengan mengisahkan kembali suasana pernikahan hingga prosesi pemakaman.
Seperti Kedai Kecil, Itulah Cinta adalah salah satu puisi favorit saya dalam sekumpulan karyanya ini.
Pecinta dari Palestina (Mahmoud Darwish)
Barulah di akhir tahun 2020 saya mulai berkenalan dengan tulisan Mahmoud Darwish. Terlebih setelah saya memutuskan untuk kembali mempelajari bahasa Arab.
Pecinta dari Palestina menghimpun puisi-puisi pilihan Mahmoud Darwish dari tahun 1964 hingga 1970. Kumpulan dalam buku ini lebih berfokus pada perlawanan dan pengharapan Darwish sebagai orang Palestina terhadap penjajahan Israel. Puisi-puisi Darwish digambarkan sebagai suara yang paling lantang sebagai perwakilan rakyat Palestina. Kartu Identitas adalah puisinya yang paling terkenal.