Sang Sutradara tidak terburu-buru untuk melemparkan teror. Krampus mengulur emosi untuk tidak terlalu klimaks. Gebrakan teror ditampilkan secara perlahan-lahan untuk menyelipkan pesan menyoal semangat Natal yang ditawarkan. Namun, ketika kengerian dilepas, di saat itulah film mengajak penonton untuk menggila.
Tingkat keseraman yang diperoleh memang tidak serta-merta membuat penonton melompat kaget. Tidak. Fantasi yang disajikan Dougherty sedikit lebih halus lewat teror kotak mainan, boneka beruang, kue jahe yang mengamuk, dan boneka badut pemangsa dengan gigi tajam yang mendadak hidup. Pemandangan yang ditonjolkan tersebut adalah kejutan yang istimewa.
Kendati tidak mencapai potensi maksimal untuk masing-masing genre yang dijanjikan, Dougherty mampu mengombinasikan drama, horor, dan komedi sampai di titik konklusi yang kembali ke dalam hangatnya suasana Natal, tetapi dengan sebuah tanda tanya yang menggantung bagi tokoh utama dan kilatan kesadaran pada tokoh lainnya.
Menonton film yang menutup kisah dengan ambiguitas atau unexpected ending bagi saya secara pribadi adalah kepuasan tersendiri selama keambiguan tersebut tidak terlalu memaksa serta masih bisa saya lacak benang merahnya. Kesan seperti itu akan memberi saya perasaan turut menjadi pemberi konklusi yang konkret.
Sebagai sebuah tontonan, Krampus bagi saya berhasil menjelma sebagai sajian keluarga, yang meskipun horor, namun tetap terasa hangat, dekat dan tentunya layak dipertimbangkan untuk menjadi salah satu film dalam menemani libur Natal yang pandemi.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H