Tanah bergetar, dan kemudian terbelah. Max mendekati Krampus, namun keinginan tersebut tidak didengar olehnya. Max dilempar ke dalam lahar api yang muncul dari belahan tanah tersebut.
Max lantas terbangun di pagi yang cerah. Keluarganya utuh kembali. Dalam perayaan Natal yang khidmat ia meyakini bahwa segala rentetan kejadian tersebut hanyalah mimpi buruk.
Ketika Max dan keluarganya berkumpul untuk membuka hadiah Natal, Max kaget sewaktu ia mendapatkan lonceng Krampus dari dalam salah satu kotak tersebut.
Seketika kejadian teror di malam itu kembali ke dalam ingatan mereka. Semuanya bukanlah mimpi. Itu adalah kenyataan yang kini membuat mereka terkurung dalam salah satu dari banyaknya bola kristal mainan yang dikoleksi oleh Krampus.
Menawarkan kengerian yang dibumbui komedi santai, drama horor ala Michael Dougherty ini juga memberikan nilai-nilai sosial yang dekat dan kerap kita temui di kehidupan.
Keindahan berbagi di hari-hari menjelang Natal ditampakkan perlahan terkikis seiring meningkatnya budaya konsumerisme dalam diri manusia.
Seperti yang diperlihatkan di awal film, ketika orang-orang berjejal dan saling sikut dalam sebuah toko hanya untuk mendapatkan barang-barang sebagai kado Natal.
Mengangkat folklor rakyat Jerman, Dougherty mendapat tantangan tersendiri untuk membawa kesan kengerian Krampus ke depan mata orang-orang yang pernah dan tidak pernah tahu visual The Christmas Devil.
Pada dasarnya, kedekatan Krampus dengan penonton cukup mudah terjalin mengingat suasana kumpul Natal yang menjadi rutinitas orang-orang di berbagai belahan dunia ditampakkan secara cukup realistis.
Dari perbincangan ringan yang mengalir hingga konflik antar anak-anak yang mudah untuk ditangkap. Bahkan bagi orang-orang non-kristen, mereka bisa menyatu dengan situasi-situasi yang dialami oleh tokohnya.
Seperti Max dan Beth dengan perasaan kesal terhadap sepupunya dan orangtua mereka dengan dilema di tengah suasana keluarganya. Di setengah jam pertama, Krampus masih berfokus dalam konflik internal keluarga tokoh-tokoh tersebut.