Mohon tunggu...
Syahrul Chelsky
Syahrul Chelsky Mohon Tunggu... Lainnya - Roman Poetican

90's Sadthetic

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Artikel Utama

Narasi Kesendirian, Seni Bertahan Hidup, dan Pelajaran Mencintai dari Arbani

3 Februari 2020   22:54 Diperbarui: 5 Februari 2020   01:35 742
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
dokpri : arbani dengan sembako akhir tahun dari gubernur kalsel

Beberapa hal baik yang mungkin bisa kau terima dari hidup sendirian: kau bisa melakukan apa saja di rumah, bangun pukul berapa pun tanpa ada yang melarang, juga kepadanya kau terlatih untuk tidak lagi merasa kehilangan.

Sendiri memang terkadang terasa manis. Tetapi jauh di dalam hatimu, ia menggerogoti perasaanmu, mengikis kebahagiaanmu sedikit demi sedikit. Sampai kau hening dan mulai berpikir: alangkah indahnya hari ini jika ada seseorang yang bisa kau ajak bicara.

Baris kalimat terakhir barangkali juga bisa dirasakan oleh Arbani (42), salah seorang warga di desa tempat saya bekerja yang mengalami (mohon maaf) retardasi mental, atau gangguan intelektual.

Dengan segala keterbatasan yang ada pada dirinya, Arbani —biasa dipanggil Bani— dituntut untuk hidup mandiri setelah ibunya wafat di pertengahan November tahun lalu.

Meski begitu, Arbani nampak sudah cukup cakap dalam mengurus kebutuhan hidupnya sendiri, seperti memasak dan mencuci. Memang sudah sejak beberapa tahun kebelakang ia terbiasa untuk melakukan kegiatan demikian dikarenakan kondisi ibunya yang renta dan tidak lagi mampu berdiri, apalagi berjalan.

Satu-satunya masalah serius yang terkadang ia hadapi adalah tidak ada pakaian yang cukup layak untuk dipakai, dan tidak ada beras dan lauk yang cukup untuk dimasak.

Sebagai seseorang yang bekerja di bawah naungan Pemerintah Desa, terlebih sebagai yang terjun langsung ke dalam lingkungan masyarakat, acapkali saya merasa kecewa dan bersalah ketika —lagi dan lagi— data penerima bantuan berupa beras atau sembako dari pemerintah mengalami perubahan dari yang semula kami ajukan.

Pasalnya, kami tidak menemukan nama Arbani di sana. Sementara untuk kembali mengajukan perubahan, prosedur yang dilalui cukup rumit dan memerlukan waktu yang tidak sedikit. 

Hal ini juga disebabkan oleh kesimpangsiuran serta tidak sinkronnya data yang diajukan desa dengan data yang diterima —dan dikirim kembali— oleh kecamatan dan atau kabupaten.

Di awal bulan Februari ini, kami berusaha keras untuk memasukkan nama Arbani ke dalam daftar nama penerima program Bantuan Pangan Non Tunai yang sudah menggantikan program beras gratis sejak bulan November tahun lalu.

Sebelumnya, Arbani tidak bisa dimasukkan ke dalam program ini karena ia belum memiliki E-KTP. Sementara itu, Arbani bukanlah jenis orang yang mau diajak pergi ke Disdukcapil demi melakukan perekamam E-KTP di antara kerumunan orang banyak. Sekalipun dipaksa, ia berkemungkinan besar akan berontak.

Terkait permasalahan ini, kami pada akhirnya mendapatkan titik terang. Yaitu dengan mengajukan permohonan kepada pihak Disdukcapil untuk bisa melakukan perekaman E-KTP di desa.

Hak Arbani sebagai orang tidak mampu memang sudah sepatutnya kami perjuangkan. Terlebih sejak ibunya meninggal, Arbani hanya bergantung pada rezeki yang diperolehnya dari membantu tetangga sekitar dengan mengupas bawang lalu mengantarnya ke rumah seorang pemborong. Dari sanalah ia mampu bertahan hidup untuk membeli beras dan lauk.

Menghadiri acara selamatan yang diadakan oleh masjid atau warga sekitar adalah salah satu hal yang paling dinanti dan menyenangkan bagi Arbani. Karena di sana ia bisa makan tanpa perlu memasak serta mengkhawatirkan persediaan berasnya yang berkurang.

Arbani tidak pernah pandai mengingat nama, tapi ingatannya masih cukup bagus untuk mengenali wajah seseorang. Saya pernah beberapa kali —sewaktu ada rezeki berlebih— berbagi kepadanya. Memang tidak banyak dan tidak terlalu sering. 

Terkadang saya memberinya uang, dan terkadang hanya memberinya beras. Melihatnya bersemangat dalam menerima, melihatnya dengan lepas tertawa, sungguh seperti sebuah kebahagiaan yang datang dari surga.

dokpri : arbani dengan sembako akhir tahun dari gubernur kalsel
dokpri : arbani dengan sembako akhir tahun dari gubernur kalsel
Arbani memang tidak pernah mengingat nama saya. Tetapi ia kerap memanggil saya dengan sebutan 'bos' seraya melambaikan tangan jika melihat saya tengah melintas dengan motor di depan rumahnya yang sudah reyot dan tua. Sementara saya hanya bisa tertawa.

Memahami makna berbagi melalui Arbani selalu membuat saya memikirkan sebuah perumpamaan tentang belajar mencintai. Yaitu memberi tanpa berharap untuk namanya dikenali, apalagi untuk meminta balik dicintai.

P.S. hari ini, Selasa, 4 Februari 2020 pukul 11 pagi (WITA), Arbani  melakukan perekaman E-KTP :)

dokpri
dokpri

*) this article I wrote for Widz Stoopz in order to celebrate her birthday

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun