Terkait permasalahan ini, kami pada akhirnya mendapatkan titik terang. Yaitu dengan mengajukan permohonan kepada pihak Disdukcapil untuk bisa melakukan perekaman E-KTP di desa.
Hak Arbani sebagai orang tidak mampu memang sudah sepatutnya kami perjuangkan. Terlebih sejak ibunya meninggal, Arbani hanya bergantung pada rezeki yang diperolehnya dari membantu tetangga sekitar dengan mengupas bawang lalu mengantarnya ke rumah seorang pemborong. Dari sanalah ia mampu bertahan hidup untuk membeli beras dan lauk.
Menghadiri acara selamatan yang diadakan oleh masjid atau warga sekitar adalah salah satu hal yang paling dinanti dan menyenangkan bagi Arbani. Karena di sana ia bisa makan tanpa perlu memasak serta mengkhawatirkan persediaan berasnya yang berkurang.
Arbani tidak pernah pandai mengingat nama, tapi ingatannya masih cukup bagus untuk mengenali wajah seseorang. Saya pernah beberapa kali —sewaktu ada rezeki berlebih— berbagi kepadanya. Memang tidak banyak dan tidak terlalu sering.Â
Terkadang saya memberinya uang, dan terkadang hanya memberinya beras. Melihatnya bersemangat dalam menerima, melihatnya dengan lepas tertawa, sungguh seperti sebuah kebahagiaan yang datang dari surga.
Memahami makna berbagi melalui Arbani selalu membuat saya memikirkan sebuah perumpamaan tentang belajar mencintai. Yaitu memberi tanpa berharap untuk namanya dikenali, apalagi untuk meminta balik dicintai.
P.S. hari ini, Selasa, 4 Februari 2020 pukul 11 pagi (WITA), Arbani  melakukan perekaman E-KTP :)
*) this article I wrote for Widz Stoopz in order to celebrate her birthday
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H