"Kamu menangis. Itu berarti sebagai hal yang lain. Kamu tidak akan pernah bisa membohongiku."
Rusli memasukkan tangannya ke sela-sela jeruji pagar. Mendekatkan jemarinya ke pipi Ratih yang nampak berair dan segar. Namun dengan sigap ratih menghindar.
"Maafkan aku," ucap Rusli menunduk.
"Kamu tahu, kita selalu memiliki pilihan. Sejak awal sudah kukatakan padamu, bukan?"
Rusli hanya menunduk. "Kamu benar."
"Juna. Dialah pilihanku sekarang setelah kamu tidak pernah berani untuk menjadikanku sebagai tujuan. Bahkan selagi kamu memiliki kesempatan untuk melakukannya."
Rusli mengangkat kepalanya.
"Aku mohon jangan menangis di hadapanku."
"Tidak. Aku tidak..." Ratih menghentikan suaranya sejenak. "Lalu apa yang kamu dapatkan sekarang?" tanya Ratih seraya menyapu matanya dengan ujung jilbab.
"Tidak ada, selain kesepian. Orangtuamu memang benar. Aku tidak memiliki bakat untuk menjadi kaya."
Rusli agak tersenyum. Dipandanginya Ratih dengan lebih dalam. Ratih merespon. Memandang Rusli cukup lama sebelum memalingkan matanya ke arah bunga anggrek di sebelahnya.