Ibu menoleh ke arah datangnya suara.
"Ayah?" Aku terkejut.
"Hei, kau laki-laki pengecut. Pulanglah atau akan kucari kau sampai dapat. Kau tahu apa yang akan kulakukan sesudahnya? Aku akan merontokkan gigimu. Lihatlah keadaan anakmu, lelaki cengeng."
Tanpa memberiku kesempatan untuk menjawab, ayah langsung menutup sambungan panggilan. Dan hujan masih turun, dan aku masih memikirkan apakah aku akan pulang?
***
Setelah keluar dari Bromley House, aku memesan secangkir kopi dan menghabiskan dua jam lamunan yang panjang di Sobar. Lalu memutuskan untuk pulang dengan memesan taksi sesudahnya. Rintik air membasahi rambut dan mantelku sesaat sebelum masuk ke dalam mobil tersebut.
Di sepanjang perjalanan, yang kulakukan hanyalah memerhatikan bias air dan cahaya dari lampu-lampu mobil, serta remang pendar lampu jalanan yang aku pikir adalah pemandangan yang cukup menyedihkan untuk merayakan kematian dan pernikahan di saat yang nyaris bersamaan.
Aku tiba di teras dengan sepatu yang membasah. Jejaknya seolah meninggalkan kenangan di pekarangan. Ayah menyambutku dengan raut masam. Aku langsung menemui anakku dan memeluknya. Berbisik di telinganya bahwa semuanya akan baik-baik saja.
Wanita bisu itu hadir selang tak berapa lama. Berdiri di hadapanku dan menebar seutas senyuman. Aku mengabaikannya.
***
Aku harus memaksa diriku terbiasa dengan hari-hari yang tidak biasa. Menemukan diriku terbangun dan terikat sekali lagi. Namun bukan dengan seseorang yang aku inginkan.