Pernahkah kamu berpikir bahwa menjalani hidup dengan pesimis untuk menghindari rasa sakit dari harapan yang terlalu tinggi itu terdengar lebih baik?
Maksud saya, kamu bisa bangun besok pagi-pagi dan kamu tidak akan menemukan perasaan bahwa ada orang lain yang akan menyakitimu. Bahwa tidak ada orang lain yang akan menginjak kepalamu.Â
Karena kamu sudah lebih dulu berada di tempat paling dasar. Hingga membuat mereka tidak bernafsu untuk mengganggumu dan tentulah kamu bisa hidup tenang.
Saya sedang berpikir demikian. Berpikir untuk menikmati hidup tenang dengan perasaan pesimis. Bahwa dunia tidak membutuhkan saya. Bahwa orang lain tidak memerlukan keberadaan saya.Â
Bahwa saya hanya akan disandingkan dengan pohon dan dianggap kucing liar dalam hidup saya sendiri. Â Tidak akan ada yang berubah jika saya tidak ada, atau semua orang hanya akan berkata "oh" saat saya mati.
Begitulah hidup, pikir saya. Hanya dimiliki oleh orang-orang optimis dan positif yang tidak pernah cukup banyak memperhatikan atau menghargai orang lain. Jadilah saya berandai-andai begini; andai hidup dipenuhi rasa pesimis.Â
Bahwa saya akan gagal dalam segala hal, namun kemudian saya malah berhasil mencapainya, rasanya seperti kejatuhan bintang saat saya tertidur. Tentu saya tidak mati. Saya hanya akan terkejut.
Lalu saya juga berandai-andai tentang menyatakan cinta kepada seorang gadis. Dengan penuh ragu dan pesimis saya berkata kepada gadis itu bahwa saya tidak terlalu mencintainya, tapi saya mau hidup dengan dia, tapi jika dia menolak saya juga tidak apa.Â
Dengan senyum saya melangkah pergi selagi dia berpikir. Kemudian dia menahan saya, berkata pada saya bahwa dia juga cinta saya. Kami pun hidup tenang membentuk keluarga yang tumbuh dalam lingkungan pesimis.Â
Bahwa ada hanya untuk tiada. Bahwa usaha hanya untuk sia-sia. Bahwa segalanya lebih baik ditinggal tidur dan banyak-banyak waktu untuk menguap.
Andai pun di tolak, toh saya juga tidak terlalu mencintainya, saya pun tidak cukup mengharap dia, saya masih bisa hidup dan menawarkan kekurangan diri saya kepada gadis lain. Karena saya memang sudah lebih dulu menyiapkan pelampung berupa rasa pesimis sebelum dia membikin  saya tenggelam.
Lebih lanjut, saya juga tengah membayangkan bahwa saya mungkin bisa menjadi penulis pemula yang menerbitkan buku pertamanya, yang di dalam hatinya berkata tulisan ini tidak bagus. Harusnya saya tidak menulis buku ini. Pastilah buku ini tidak akan laku. Ada yang mau diberikan pun syukur. Apalagi ada yang sudi membeli.
Tapi seminggu kemudian saya ditelepon oleh penerbit yang mengatakan pada saya kalau buku saya sudah terjual sepuluh ribu eksemplar. Dan saya diberikan banyak bonus, dan mereka meminta saya untuk menulis tulisan semacam itu lagi. Tentu terdengar bagus sekali.Â
Bahwa saya tidak berharap, bahwa saya tidak terlalu ingin tapi saya diberi, tapi saya berhasil. Seolah-olah dengan pesimistis yang tinggi saya mendapat kado ulang tahun lebih awal, atau kejutan pesta yang besar. Rasa pesimis membuat keberhasilan saya terasa seperti  bonus tak berhingga, pikir saya lagi.
Dan bisakah kamu membayangkan kalau tiba-tiba saya mencalonkan diri menjadi presiden? Lalu saya hanya menawarkan banyak kegagalan kepada rakyat.Â
Ketika berdebat, saya akan lebih banyak diam dan bergumam. "Saya hanya orang bodoh," kata saya, "tidak jadi presiden pun saya tidak apa. Tapi kebetulan saya sedang ingin jadi presiden."
Kemudian sewaktu kampanye untuk menyuarakan visi dan misi, saya malah menyinggung beberapa kaum minoritas, atau visi saya tidak jelas, atau misi saya jelek karena ingin memakmurkan para koruptor dan membunuh sebagian besar usaha rakyat kecil di negeri ini.
Saya akan menghapus keberadaan warung kecil dan pedagang asongan, saya akan memasukkan banyak-banyak orang asing, kata saya. Selanjutnya, saya akan korupsi, menteri-menteri saya akan gemuk karena hanya akan meminum soda dan duduk, saya akan menaikan pajak, harga bahan bakar akan jadi tidak masuk akal dan tak lupa pula saya akan menculik orang yang menyebarkan kabar buruk tentang pemerintahan saya.Â
Mereka marah betul pada saya. Saya benar-benar terdengar seperti calon presiden yang ingin menghancurkan negaranya sendiri.
Namun bagaimana jika setelah pengumuman saya malah dinobatkan sebagai presiden terpilih?Â
Misalnya, karena mereka terlalu bencinya pada saya hingga membuat mereka semua marah dan mengutuk foto saya di bilik pemilihan. Mereka menusuk foto saya karena beranggapan akan membuat saya yang asli menjadi kesakitan.Â
Jadilah saya sebagai presiden baru, yang selama masa pemerintahannya negara ini maju karena tidak ada orang yang berharap lebih pada kemampuan saya, tidak ada orang yang beranggapan atau bercita-cita bahwa negara ini akan maju bersama saya.Â
Bagaimana? Terdengar seperti lebih menjanjikan ketimbang optimis dan banyak janji, bukan?
Tentu demikian, karena menjadi pesimis tidak memberikan harapan. Kalau pun gagal, saya tidak akan sakit. Orang lain juga tidak akan kecewa karena sejak awal saya sudah katakan pada mereka kalau saya barangkali lebih condong ke arah gagal, atau semacamnya.
Pada dasarnya saya hanya tidak suka terus kecewa karena saya berharap, atau karena saya terlalu optimis. Saya benci apabila harus hidup di antara rasa kecewa yang terjadi lebih sering lagi. Karena  hidup untuk kecewa, dijagal oleh perasaan bersalah, dan dipeluk kegagalan sudah terasa sangat lumrah serta membosankan.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H