Saya mengangguk, tapi tidak terlalu paham dan tidak betul-betul setuju.
Setelahnya Kakek mengajak saya minum cokelat panas di teras sambil memandangi taman bunganya. Saat seekor kupu-kupu melintas, saya sempat mengambil sandal dan berkeinginan untuk memukul hewan itu. Tapi sejenak saya teringat ucapan Kakek, jadi saya urungkan niat dan meletakkan kembali sandal saya. Sementara itu Kakek menertawakan saya.
"Kupu-kupu itu hewan yang membawa pertanda baik. Dan tentulah mereka tidak akan menyakitimu, buyung," kata dia, mengusap kepala saya.
Saya mengangguk. Tapi masih memandang kupu-kupu yang perlahan masuk ke dalam rumah itu.
"Akan ada tamu," ucap Kakek sedikit tersenyum. Saya bingung.
Dua hari kemudian, ternyata betul ada tamu. Paman saya yang tinggal di luar kota datang bersama istrinya. Tidak menginap. Hanya berkunjung. Kebetulan tempat pertemuan bisnisnya melewati rumah Kakek. Begitulah seingat saya.
Seminggu saya di rumah Kakek, kami selalu melakukan kegiatan yang sama. Dia mengajak saya untuk mengulangi hal-hal sama yang membosankan. Lebih-lebih untuk bocah macam saya. Menyiram bunga, memandang taman dan menyaksikan kupu-kupu yang tidak bisa saya tangkap hidup-hidup.
Hari itu, selesai menyiram bunga, memutar lagu dan bernyanyi, Kakek mengajak saya untuk minum cokelat panas lagi di teras sambil memandang taman bunganya. Seekor kupu-kupu melintas lagi. Saya sempat berpikir untuk memukulnya dengan sendok. Tapi sejenak saya kembali teringat ucapan Kakek. Jadi saya urungkan niat itu. Di belakang, Kakek memandang saya dan tertawa.
"Kamu masih ingat kata-kata saya, buyung? Kupu-kupu itu hewan yang membawa pertanda baik. Jangan sakiti mereka," kata dia.
Saya mengangguk. Kupu-kupu itu kembali masuk ke dalam rumah.
"Akan ada tamu," kata Kakek lagi.