Mohon tunggu...
Syahrul Chelsky
Syahrul Chelsky Mohon Tunggu... Lainnya - Roman Poetican

90's Sadthetic

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Cerpen | Apa Itu Hidup?

16 Juni 2019   21:04 Diperbarui: 16 Juni 2019   23:07 272
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

"Apa itu hidup?" dia bertanya di dalam kepalanya sambil mengunyah kuaci seribuan yang dibelinya di warung. Namun dia tidak menemukan jawaban apa pun. Pada pemilik warung dia juga bertanya hal yang serupa, "Apa itu hidup?"

Pemilik warung menggeleng, lalu menjulurkan tangannya, meminta uang seribu.

Dia kembali bertanya, "Apa itu hidup?" Mulutnya menganga, matanya memandangi pemiliki warung, tangannya memegang bungkusan kuaci seribuan. Pemilik warung menunjukkan sekeping uang logam seribuan di depan wajah tololnya.

"Hidup adalah uang," katanya dengan gerakan tangan yang seolah meminta dia untuk segera enyah.

Apa itu hidup? Mungkinkah dia pernah hidup?

Dia bukan seorang filsuf, tampangnya juga tidak menunjukkan bahwa dia ahli filsafat atau orang yang sedang belajar ilmu filsafat. Dia lebih mirip fisikawan gagal yang menciptakan suatu rumus untuk membuat jalan pintas demi mengakhiri keberadaannya sendiri, dan bahkan dia tidak bisa memecahkan hitungan sederhana dengan rumusnya itu. 

Tapi dia sangat penasaran tentang apa itu hidup. Dia berjalan terus bersama sebungkus kuaci seribuan yang menyembul di antara saku bajunya yang lusuh itu.

"Apa itu hidup?" tanya dia pada sebuah pohon mangga di depan rumah orang. Tapi pohon mangga tidak mau menjawab. Dia hanya mendengar suara gonggongan anjing di balik pagar yang berusaha menggigit bokongnya. Lalu dia ludahi anjing itu dengan kulit kuacinya. Anjing itu tambah menyalak.

"Apa itu hidup?" tanya dia lagi pada anjing itu. Dia masukkan tangannya di sela-sela lubang pagar untuk menggosok-gosok bulu anjing itu. Tapi anjing itu malah menggigitnya. Lalu dia lari sambil menangis.

***

Jauh sudah dia berjalan sejak digigit anjing galak itu. Luka bekas gigitannya masih terlihat merah. Tapi kulit telapak kakinya tentulah masih cukup tebal. Kebal dari panas aspal. Orang-orang memandangi dia semacam melihat pada teroris yang membawa bom bunuh diri di tengah keramaian. Padahal dia cuma mau bertanya tentang hidup.

Dia datangi penjual koran yang duduk manis sambil membaca kabar berita sidang pemilu, pesugihan, korupsi, atau keluhan guru honorer pada lembar barang dagangannya. Penjual koran itu menatap ke arah dia dengan agak sinis.

"Koran Radar 4000, Koran B-Post 5000, Majalah Dewasa 10.000. Lumayan buat ngocok," katanya, "Ada duit kan?"

"Apa itu hidup?" tanya dia pada penjual koran sambil mengeluarkan sebiji kuaci di dalam sakunya. Lalu dia makan kuaci itu dengan kulit-kulitnya.

Penjual koran menutupi wajahnya dengan majalah dewasa yang menampilkan gambar seorang wanita dengan sepasang payudara. 

"Coba tanya di lapak sebelah," ucap dia sambil menunjuk penjual gorengan yang sedang menuangkan minyak ke dalam wajan.

"Apa itu hidup?" laki-laki itu bertanya lagi. Kali ini pada penjual gorengan.

"Saya tidak tahu," jawabnya, "saya cuma penjual tahu isi sama bakwan biasa."

Tukang gorengan itu memerhatikan orang itu dari ujung rambutnya yang berantakan hingga kakinya yang nyeker.

"Coba tanya Mas yang itu," kata dia menyuruh laki-laki itu dengan mengarahkan tangannya yang dipenuhi tepung kepada preman penjaga pasar.

Laki-laki itu tertawa sambil mengunyah kuaci terus. Berjalan dia ke arah preman yang berambut seperti jengger ayam itu.

"Apa itu hidup?" dia memandang kepada preman itu dengan matanya yang polos, mengharap sebuah jawaban.

Preman itu meletakkan gelas kopinya agak keras hingga membuat suara benturan yang terdengar sekitar beberapa meter. Berdiri dia menatap orang itu dari rambutnya yang tidak pernah menggunakan shampoo bertahun-tahun hingga kuku kakinya yang panjang dan bau.

Dia kepalkan tangannya, lalu dia angkat lengan bajunya sampai kelihatan tato bergambar naga. Dengan bergaya seolah sedang mengangkat barbel dia bilang, "Hidup adalah rasa sakit."

Laki-laki itu melihat otot dan tato preman itu. Dan dia tertawa dengan agak memamerkan giginya yang sudah tidak digosok sejak lama.

"Ulat?" tanya dia sambil mengunyah kuaci dan menunjuk gambar naga pada lengan preman itu.

Kemudian dia ditendang preman itu sampai terbirit-birit sambil menangis. Laki-laki itu sedih sekali karena tidak ada yang mau memberitahu pada dia tentang hidup; apa itu hidup atau di mana ia bisa menemukan hidup.

***

"Apa itu hidup?" tanya dia pada jajaran pohon, gedung, dan sebidang langit luas sambil menangis di sepanjang trotoar yang di pijaknya setelah dia berjalan terlalu jauh tapi dia merasa tidak pernah pergi ke mana-mana selain kepada ingatan akan kematian istrinya.

Hingga beberapa saat kemudian dia akan tertawa lagi dan kembali bertanya di dalam kepalanya sendiri, sambil mengunyah kuaci seribuan yang dia beli di warung tadi, "Apa itu hidup?"

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun