Mohon tunggu...
Syahrul Chelsky
Syahrul Chelsky Mohon Tunggu... Lainnya - Roman Poetican

90's Sadthetic

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Artikel Utama

Cerpen | Sebuah Kepulangan

3 Juni 2019   12:43 Diperbarui: 4 Juni 2019   20:41 683
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Ibunya yang agak ubanan itu masih menangis meskipun Yusuf sudah pulang ke rumah.

Lima belas hari sebelumnya, ada penggalan-penggalan kalimat yang terdengar dari balik teleponnya, “Sudah lama kamu tidak pulang, Nak.” Suara ibunya mungkin ditahan bening yang misterius. Atau malah ditunda waktu. “Ibu minta maaf kalau kamu merasa tersinggung dengan pertanyaan-pertanyaan ibu saat itu.”

Yusuf hanya bungkam. Menahan emosi di dalam dadanya yang berkecamuk, semacam pasien puskesmas yang membenci loket penyerahan berkas dekat bangku tunggu. 

Sudah berbulan-bulan Yusuf dan ibunya tidak saling berhubungan. Tapi waktu itu ibunya menelepon lebih dulu, lima belas hari sebelum lebaran. Tepat sehabis salat tarawih. Dengan suara menohok yang lirih. Memintanya pulang. Karena sudah dua kali lebaran Yusuf tidak melakukan perjalanan mudik dengan dalih pekerjaan yang menumpuk. Padahal dia tidak pernah benar-benar sibuk.

“Sebegitu marahnya kah kamu sama ibu, Nak?” Yusuf masih belum menjawab. “Suf?” sambung ibunya.

“Iya, Bu. Nanti Yusuf usahakan untuk pulang.”

“Kamu janji?”

“Yusuf tidak bisa berjanji.”

“Tapi ibu kangen sama kamu. Kamu tidak kangen ibu?” Suara ibunya berserak. Yusuf tahu ibunya akan menangis.

"Yusuf masih ada kerjaan, Bu."

"Ini kan sudah malam, Nak. Ibu sengaja menelepon kamu malam hari begini karena ibu tahu siangnya kamu sibuk."

Mata Yusuf yang sedikit sipit perlahan memerah. Sejujurnya dia juga rindu ibunya. Ingin sekali bertemu. Ingin pulang. Tapi ucapan beliau pada lebaran dua tahun sebelumnya masih berdengung di kupingnya yang tebal. Membuatnya bergidik nyeri. Yang dulu pernah membuatnya mati kutu hingga tak bisa bicara. Yang membuatnya merasa malu di hadapan seluruh keluarga. Rupanya, tanpa sengaja dia memang sudah mengakui bahwa diriya termasuk golongan manusia kesepian yang mungkin minoritas di dunia.

Yusuf tahu itu memang mendasar sekali dan pasti bukan cuma dirinya yang dihantui oleh pertanyaan-pertanyaan yang meneror semacam itu. Ada jutaan lelaki berusia matang di dunia yang memenuhi malam-malamnya dengan khayalan memegang payudara atau menggendong seorang bayi yang malah buang air di lengannya. Tetapi ibunya terlalu sering menghantui kepalanya dengan rambut yang semakin rontok itu hingga membuat dia merasa sudah muak. Dia pun sudah berusaha, setidaknya begitu pikirnya. Dia juga ingin segera menikah dan membawa pulang seorang perempuan bertubuh molek ke kampung halamannya.

Tapi itu bukan perkara mudah. Khususnya bagi seorang karyawan kontrak yang entah bagaimana nasibnya tahun depan; apakah diperpanjang atau malah ditendang. Terlebih dengan tampangnya yang pas-pasan itu. Sulit sekali rasanya. Tiap kali dia mendekati seorang perempuan, bisa dipastikan perempuan itu sudah memiliki kekasih, bahkan sudah ada yang memiliki suami. Seolah-olah, baginya dunia telah kehabisan stok perempuan yang sendirian.

"Yusuf tutup dulu, ya, Bu?"

"Ibu janji tidak akan menanyakan hal itu lagi sama kamu. Asal kamu pulang saja ibu sudah bahagia. Kamu tidak perlu bawa siapa-siapa."

Tut..... tut ....... tut .....

Yusuf mengakhiri panggilan dengan perasaan bersalah. Namun ada bagian di dalam dirinya yang memaksa untuk segera mengakhiri panggilan itu. Yusuf takut tidak bisa menahan emosinya lebih lama. Dia merasa gengsi bila ibunya mendengar atau tahu bahwa dia menangis karena terlalu merindukannya.

Dia habiskan beberapa jam untuk memikirkan perasaan ibunya yang pasti saja merasa sangat kecewa dan terluka karena perkataan dan perbuatannya yang dengan ringan menutup panggilannya. Bayangan-bayangan cerita tentang Malin Kundang berkelebat di dalam isi kepalanya yang abstrak. "Apa aku sudah keterlaluan? Tapi walau bagaimana pun ibu harus mengerti kalau aku benar-benar kecewa padanya," benaknya.

***
Hari berganti hari. Yusuf merasakan dilema antara gengsi pulang tanpa pasangan dengan rindu pada ibunya serta kampung halaman. Selama bulan puasa dia menghadiri banyak pengajian sehabis Asar, mendengarkan lantunan ayat suci Al-Qur'an dan intisarinya yang perlahan mengikis sisi setannya.

Bagi Yusuf, setiap manusia pastilah memiliki sisi setannya masing-masing. Maksudnya, seperti keras kepalanya dalam merawat gengsi, serta kecewa dan sakit hati itu. Nah, itulah yang disebutnya sebagai sisi setan alias nafsu idealisme yang berlebihan.

Semua memang tidak berjalan sebagaimana yang dia mau. Dia berharap lebaran ini bisa pulang bersama seorang perempuan untuk diperkenalkannya pada ibunya agar beliau berhenti bertanya di mana jodohnya, atau kapan dia menikah, karena ibunya sudah tidak sabar pengin menimang cucu dari benih sperma yang ditanam Yusuf pada rahim istrinya. Bahkan di waktu itu juga, dia pikir, dia bisa berucap, “Panggilkan penghulu. Aku bisa langsung menikah dan besok ibu sudah punya cucu!”

***
Sembilan hari sebelum lebaran, selesai salat tarawih di malam yang kedua puluh satu, Ibu Yusuf kembali meneleponnya. Sempat dia biarkan beberapa panggilannya terlewat. Sengaja tidak ia jawab.

Mungkin karena menyadari Yusuf tidak akan mengangkat panggilan darinya, ibunya pun kemudian mengirimkan sebuah pesan singkat.

Ibu minta maaf, Nak. Ibu tidak tahu apa yang mesti disyukuri dari lebaran ini kalau kamu tidak di sini. Berat sekali rasanya. Sudah dua kali lebaran kamu tidak menemui ibu. Pulang ya, Nak. Walau pun cuma satu hari. Ibu semakin tua. Ibu takut tidak punya kesempatan untuk bisa melihatmu lagi. Ibu rindu.

Yusuf tidak bisa membendung air matanya. Itu pertama kali ibunya memohon atas kepulangannya. Karena memang, dua tahun kebelakang, beliau cuma sebatas bertanya apakah dia akan pulang atau tidak. Namun tidak sampai memohon agar dia benar-benar pulang. Tidak...tidak pernah.

Yusuf tidak segera membalas pesan ibunya. Ia mengumpulkan niat beberapa saat untuk melakukan panggilan. Setidaknya selagi air matanya bercucuran tak tertahan. Dia tidak ingin terdengar habis menangis di telinga ibunya.

"Halo, Suf? Kamu di sana, Nak?"

Yusuf tidak bersuara beberapa lama.

"Nak? Kamu bisa dengar ibu?"

"Ehmmm.. mmm.." Ia berdehem. "Iya, Bu. Yusuf dengar," sambungnya

"Nak?"

"Iya. Yusuf janji akan pulang."

"Kamu serius, kan?"

"Iya."

Yusuf sengaja menghindari percakapan yang panjang dengan ibunya. Dia masih takut tidak bisa menahan emosinya. Ia pikir mungkin akan lebih baik bila ia luapkan segala emosinya sewaktu lebaran. Di hari yang fitri dan penuh pengampunan. Ya, itu terdengar lebih layak baginya ketimbang hanya berbicara melalui saluran telepon.

"Sudah dulu ya, Bu. Yusuf masih ada kerjaan biar nanti bisa tenang sewaktu Yusuf tinggal pulang."

"Iya, Nak. Kamu jaga kesehatan ya."

"Iya, Bu."

Tut..... tut ....... tut .....  Panggilan kembali diakhiri, namun kali ini dengan perasaan Yusuf yang sedikit lebih baik. Itu pilihan terbaik, pikirnya.

***
Seminggu sebelum lebaran, Yusuf telah menyiapkan semuanya untuk melakukan perjalanan mudik. Dia sudah menyewa sebuah mobil, menyiapkan sekoper penuh pakaian, dan berencana untuk membeli cukup  oleh-oleh dari kota yang akan dia bawa ke tanah kelahirannya. Dia juga akan membelikan mukena untuk ibunya.

Yusuf tidak memberi kabar kapan ia akan pulang. Dia ingin memberi kejutan, bahwa dia bisa pulang lebih awal dari kemungkinan yang diperkirakan ibunya.

Ia akan melakukan perjalanan yang sangat jauh dan mungkin akan memakan waktu beberapa hari. Dia pun berpikir untuk beristirahat di beberapa masjid selagi dalam perjalanan. Yusuf berangkat di hari kelima sebelum lebaran. Berdasarkan kalkulasi asal-asalan yang ia lakukan, ia akan sampai dalam waktu dua hari.

Nahasnya, belum ia mencapai separuh jalan, Yusuf mengalami kecelakaan. Di sebuah persimpangan, sebuah truk pengangkut minyak dengan sopir yang mengantuk menghantam mobilnya dengan kencang.  Ia tidak mengingat apa-apa sesudahnya. Hanya rasa sakit, kilas balik masa kecilnya, pendar-pendar cahaya yang bergerak seperti kunang-kunang dan jeritan suara orang-orang. Sebelum semuanya menjadi gelap.

***

Dua hari kemudian Yusuf tiba-tiba mendapati dirinya telah berada di rumah ibunya.

"Apa yang terjadi? Di mana ini?" Kata Yusuf yang masih dalam keadaan linglung dan bingung. "Oh, ternyata sudah sampai di rumah," ingatnya.

Beberapa saat kemudian dia terdiam, seolah merasakan sesuatu yang berlainan daripada dirinya yang biasa. 

Dan tiba-tiba ia semakin bertambah bungkam. Telinganya mendengar lantunan Surah Yasin yang serentak keluar dari bibir banyak orang, juga suara seorang wanita yang menangis dengan keras. Yang tepat berada di belakangnya. Rumah ibunya mendadak ramai. 

Dan ketika ia berbalik, Yusuf melihat ibunya tengah menangis sembari mencium jasad seseorang yang telah terbungkus kain kafan. Ia mengingat sesuatu, kembali berbaring dan mengangkat kedua tangan berbentuk astralnya yang transparan.

"Maafkan Yusuf, Bu. Yusuf sudah pulang. Benar-benar pulang," lirihnya tanpa ada siapa pun yang mampu mendengar. Termasuk ibunya.

Yusuf memang sudah pulang. Namun pipi ibunya yang keriput masih basah.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun