***
Sembilan hari sebelum lebaran, selesai salat tarawih di malam yang kedua puluh satu, Ibu Yusuf kembali meneleponnya. Sempat dia biarkan beberapa panggilannya terlewat. Sengaja tidak ia jawab.
Mungkin karena menyadari Yusuf tidak akan mengangkat panggilan darinya, ibunya pun kemudian mengirimkan sebuah pesan singkat.
Ibu minta maaf, Nak. Ibu tidak tahu apa yang mesti disyukuri dari lebaran ini kalau kamu tidak di sini. Berat sekali rasanya. Sudah dua kali lebaran kamu tidak menemui ibu. Pulang ya, Nak. Walau pun cuma satu hari. Ibu semakin tua. Ibu takut tidak punya kesempatan untuk bisa melihatmu lagi. Ibu rindu.
Yusuf tidak bisa membendung air matanya. Itu pertama kali ibunya memohon atas kepulangannya. Karena memang, dua tahun kebelakang, beliau cuma sebatas bertanya apakah dia akan pulang atau tidak. Namun tidak sampai memohon agar dia benar-benar pulang. Tidak...tidak pernah.
Yusuf tidak segera membalas pesan ibunya. Ia mengumpulkan niat beberapa saat untuk melakukan panggilan. Setidaknya selagi air matanya bercucuran tak tertahan. Dia tidak ingin terdengar habis menangis di telinga ibunya.
"Halo, Suf? Kamu di sana, Nak?"
Yusuf tidak bersuara beberapa lama.
"Nak? Kamu bisa dengar ibu?"
"Ehmmm.. mmm.." Ia berdehem. "Iya, Bu. Yusuf dengar," sambungnya
"Nak?"
"Iya. Yusuf janji akan pulang."