Aku Datang, Ra
Selang tak berapa  lama, bus yang akan mengantarku ke tempatmu tiba. Kosong seperti hatiku. Hanya ada tiga orang di dalamnya. Aku duduk di bangku sebelah kanan paling pojok, di dekat  jendela yang sedikit terbuka. Aku memikirkanmu sambil memandangi hujan yang jatuhnya di kaca. Kamu ingat, Ra? Kita pernah duduk berdua di dekat jendela kamarmu sewaktu hujan. Kita berdua pernah meniup-niup kaca jendela yang membentuk biasan, kemudian kita menggambarnya menjadi dua potong hati dalam kedinginan.
Apa di sana kamu lebih bahagia ketimbang denganku, Ra? Dua tahun belakangan aku kesepian dan susah bahagia. Apa di sana kamu juga? Maaf, Ra. Hingga hari ini perpisahan kita masih sukar untuk aku terima. Setelah dua tahun kita saling  terikat, aku hancur dalam kematianmu yang menciptakan sekat.
Pada Hujan yang Membawamu Pergi
Aku merindukan kamu setiap hari, Ra. Sejak dulu, saat aku bahkan belum tahu namamu. Di saat kamu pertama kali masuk ke dalam kelasku sebagai mahasiswi baru. Semakin berat ketika hujan ikut pulang bersamamu di hari Minggu yang kelam dua tahun lalu. Semuanya masih berputar-putar di kepalaku, hembusan terakhir nafasmu dalam pangkuanku. Di bawah rinai hujan yang membawamu pergi, kamu ucapkan cinta untuk terakhir kali.
Maaf, Ra. Jika selama ini cintaku membebanimu di alam sana. Mungkin kamu tersiksa karena keegoisan yang kucampur dalam doa. Aku mencintaimu dalam kadar yang tak biasa tanpa tahu cara menguranginya.