Mohon tunggu...
Syahrul Chelsky
Syahrul Chelsky Mohon Tunggu... Lainnya - Roman Poetican

90's Sadthetic

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Cerpen | Wanita Hujan

29 November 2017   12:14 Diperbarui: 19 Februari 2019   18:50 553
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Hujan mengguyur kota Martapura dengan lebatnya selepas senja, sekarang sudah pukul sebelas lewat lima malam dan aku masih terjebak kenangan lewat derai hujan di teras sebuah ruko sejak adzan Isya berkumandang. Parahnya aku lupa membawa jas hujan merah muda kesayanganku. Sudah beberapa jam berlalu, hujan belum menunjukkan gejala bahwa ia akan mereda, beberapa orang yang terjebak di teras ruko bersamaku memutuskan untuk beranjak pergi sembari merelakan tubuh dipagut dingin rinainya, sementara sisanya memutuskan untuk menahan kaki dengan harap agar hujan segera reda.

Di seberang jalan aku melihat seluit seorang wanita sedang memayungi kepalanya dengan tangan seraya berteduh di bawah pohon cemara.

"Kenapa tak ikut berteduh di sini saja?", benakku berkata.

Setengah jam berlalu namun wanita itu masih berdiri di sana. Sinar redup lampu di pinggir jalan seolah kekalkan hampa keberadaannya. Ia nampak kebasahan juga sedikit menggigil kedinginan, namun kakinya tak beranjak meski hanya satu senti. Beberapa saat kemudian terlihat seorang lelaki menghampirinya, seolah sedang berbicara dengannya, namun wanita itu nampak kelu. Jangankan balas berkata, menoleh pun ia tak mau. Suasana di antara mereka mengingatkan aku pada dingin hati kita sewaktu bertengkar dahulu. Masih ingatkah kamu sewaktu aku cemburu hanya karena hal-hal sepele waktu itu? Aku memang bodoh karena tak jarang aku meragukanmu dan lebih memprioritaskan egoku. Namun kamu juga tak pernah mau mengerti, terkadang bahagia memilikimu bisa membuatku menjadi orang paling posesif di muka bumi.

Beberapa saat mereka berdua membeku, lelaki itu mulai memalingkan wajahnya ke arah ruko tempat kami berteduh sembari melepas jaketnya dan meletakkannya di pundak sang wanita. Lelaki itu berlari santai ke arah kami, menembus hujan di tengah malam, meninggalkan wanita yang entah siapa-nya dia di tepi jalan. "Egois!" ujarku dari dalam.

Setibanya dia di tempat kami berada, gurat juga kerut di wajahnya kupandangi dengan saksama. Usia lelaki itu sekitar kepala lima.

"Hujannya lebat dan lama, ya," ia menyapaku tanpa terduga. Kupalingkan kepala untuk sekedar memastikan dengan siapa ia berbicara.

"Iya Pak, kami di sini sudah terjebak hujan selama beberapa jam," jawabku dengan senyum masam. Ia berlalu di depanku sembari melekukkan tangannya ke dada, memeluk dirinya sendiri dengan erat dan kemudian masuk ke arah kerumunan di antara lima orang.

Sementara wanita di seberang jalan itu masih berdiri sepi dalam keheningan. Di benakku masih tersimpan setumpuk tanya tentang siapa dia dan apa yang dia lakukan di tepi jalan pada pertengahan malam yang hujan.

"Dik, asalnya dari mana?" suara seorang laki-laki terdengar sedikit samar di telingaku, melepas penuh pandanganku pada wanita hujan itu. Seketika aku menolehkan muka dan kulihat lelaki itu kembali mengajakku membuka kata.

"Oh, saya dari Pati, Pak," balasku.

"Memangnya adik habis dari mana, kalau boleh tahu?"

"Saya habis pulang kerja, Pak."

"Oohh. Ngomong-ngomong, adik kenapa dari tadi bapak lihat selalu memperhatikan anak bapak?" tanyanya dengan nada intens juga sedikit tertawa. Sontak pertanyaan lelaki itu membuat aku terkejut sekaligus malu. Aku pun mencoba untuk menahan diri agar tak terlihat gugup di hadapan lelaki ini.

"Wanita di seberang jalan itu anak bapak?" tanyaku balik.

"Iya dik. Kamu kenal sama anak bapak?"

"Saya tidak bisa melihat dengan jelas wajahnya, Pak. Tapi sepertinya saya tidak mengenalnya. Kenapa bapak tidak membawanya berteduh di teras ini juga?"

"Hhmmp," lelaki itu merespon tanya yang kucerca dengan tawa kecilnya.

"Ada apa, Pak?"

"Sebenarnya, anak bapak itu memang keras kepala. Bahkan para tetangga beranggapan bahwa dia sudah gila. Namanya Fia. Dia sudah seperti itu sejak lima bulan lalu, ketika suaminya dinyatakan hilang dalam pendakian menuju puncak Gunung Lawu."

Pernyataan laki-laki itu membuat hatiku ikut menyesal juga pilu, sekaligus menimbulkan beberapa pertanyaan baru di kepalaku. Aku terdiam sejenak sebelum kembali bertanya dengan rasa ingin tahu yang menggebu-gebu.

"Lalu apa yang sedang anak bapak lakukan di bawah pohon cemara dalam hujan di sana?" sambungku.

"Dia sedang menunggu," jawabnya singkat hingga membuatku harus berpikir lebih berat.

"Menunggu? Siapa yang dia tunggu?" tambahku, membuat laki-laki itu sejenak tak bergeming, ia menatapku sebentar hingga suasana menjadi hening.

"Setiap hari dia selalu berkata bahwa suaminya berjanji  akan pulang hingga kemudian mereka akan kembali bertemu di bawah pohon cemara itu. Kau tahu dik? Dulu pohon cemara itu adalah satu-satunya tempat di dekat sini untuk berteduh, baik dari terik panas siang maupun dari hujan yang riuh. Fia, anak bapak menikah pada usia 20, sementara suaminya lebih tua tiga tahun darinya. Mereka pertama kali bertemu di bawah pohon itu tujuh tahun yang lalu." Lelaki itu pun melanjutkan ceritanya hingga waktu pada jam tanganku menunjuk angka 12.33.

Satu jam kemudian hujan mulai reda, lelaki itu pun mulai melangkah  lagi untuk menghampiri anaknya dan langsung memeluknya setibanya ia di sana. Kupikir beban lelaki itu sedikit terkikis ketika ia mau berbagi cerita padaku. Lelaki itu terlihat sedang menoleh ke arahku, kubalas  dengan seutas senyum ke arah mereka berdua.

Kata ayahnya, Fia selalu kembali ke tepi jalan di bawah pohon cemara yang sama ketika turun hujan selama beberapa bulan belakangan. Ya, seperti tujuh tahun lalu ketika pertama kali ia dan suaminya bertemu, kupikir ia hanya sedang terjebak kenangan dan nostalgia ketika hujan membasahinya, kurasa kami memiliki sedikit persamaan. Aku mengerti rasa kehilangan, juga rindu yang ia pendam. Aku bersyukur lewat hujan malam ini aku dan dia dipertemukan, hingga aku bisa lebih banyak mengerti, bahwa di samping kebasahan, hujan juga bisa membingkis rindu yang sesak tersimpan.

Martapura, Kal-Sel, November 2017

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun