Mohon tunggu...
Alkhan
Alkhan Mohon Tunggu... Mahasiswa - Penulis pemula yang mencoba lebih baik

Dengan menulis, wawasan bertambah luas. Dengan membaca, yang sudah luas semakin bertambah luas.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Apa Salahku?

6 November 2024   11:19 Diperbarui: 6 November 2024   11:42 39
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Sore itu, tepat pukul 16.00, Aku duduk di halte bus sambil memeluk erat ransel kesayangannya yang berwarna merah-hitam. Cuaca saat itu hujan turun sangat deras, sehingga bagian bawah celanaku sedikit basah terkena cipratan air. Udara dingin menusuk kulit, namun entah kenapa aku malah merasa sedikit hangat. Ternyata saat itu aku berada di dekat kompor penjual gorengan.

Lima belas menit kemudian, hujan masih tetap mengguyur tempatku berteduh, semakin lama semakin deras bahkan tak tahu kapan akan reda. Saat itu, kumerasakan ada sesuatu yang bergetar dan berbunyi. Kemudian kuraba saku celana, namun bukan berasal dari ponsel. Kucari asal sumber getaran dan bunyi tersebut.

"Owalah... ternyata gue lapar. Pantesan susah dicari tuh sumber getaran," ucapku menertawakan kekonyolan yang terjadi.

Tiba-tiba, seseorang yang tak kukenal menghampiriku dengan senyum aneh. Ia membawa bungkusan berwarna hitam yang membuatku curiga. Ia terus berjalan mendekat ke arahku. Setelah berada di hadapanku, ia memberikan bungkusan hitam itu kepadaku.

"Nih..." ujar pria misterius itu.

"Maaf, Bang, jangan macem-macem ya, nanti saya teriak kenceng nih!" ancamku dengan suara lantang.

Pria itu terus memaksa memberikan bungkusan yang ia bawa kepadaku. Aku tetap melawan dan menolaknya karena khawatir ia memiliki rencana atau niat jahat kepadaku.

"Nih, pegang aja, cepet!" ucap pria misterius itu dengan nada mendesak, makin memaksaku menerima bungkusan hitamnya.

"Aduh, Bang, saya beneran nggak mau!" ujarku, makin waspada. Pikiran negatif langsung melintas. Bisa-bisa aku sedang dijadikan kurir barang ilegal, atau barang ini berisi sesuatu yang menyeramkan. Aku mundur selangkah, siap-siap kabur kalau perlu.

Tiba-tiba pria itu menghela napas, wajahnya berubah dari tegang menjadi putus asa. "Bang... ini gorengan yang udah kamu pesan barusan, gimana sih?" katanya sambil menggaruk kepalanya.

Aku langsung tercengang. Gorengan? Secepat kilat otakku mengingat-ingat. Ah, benar! Tadi, saat sedang menunggu bus, aku melihat penjual gorengan dan, ya ampun, aku memang memesan beberapa gorengan biar nggak bosan menunggu! Saking paniknya, aku sampai lupa.

"Oh iya, Bang, sori, sori!" ucapku buru-buru sambil mengambil bungkusan gorengan itu. Wajahku panas, mungkin sudah seperti kepiting rebus sekarang. Aku langsung mengeluarkan uang tanpa berani menatap mata si abang gorengan.

"Yah, kirain kenapa, kok ketakutan gitu," gumam si abang sambil berlalu dengan gelengan kepala.

Aku menghembuskan napas lega, tapi rasa malu masih saja menguar. "Apa salahku, Tuhan? Kok bisa konyol begini," gumamku lirih sambil mencoba melupakan kejadian tadi.

Namun, momen malu itu belum sempat menghilang saat tiba-tiba hujan berubah lebih deras. Aku memeluk bungkusan gorengan dengan lebih erat, takut gorengan yang sudah setengah basah ini tambah tidak bisa dimakan.

Tepat saat aku mengambil gorengan pertama, tiba-tiba dari ujung jalan terdengar suara sirene yang semakin mendekat. Kulihat sebuah mobil pemadam kebakaran datang dengan kecepatan tinggi, berhenti mendadak tepat di depan halte, hanya beberapa meter dari tempatku duduk.

"Kebakaran, ya?" gumamku sambil celingak-celinguk, mencoba mencari lokasi api yang darurat itu. Aku merasa ada sesuatu yang salah saat melihat tidak ada asap, tidak ada api di sekitarku, bahkan tidak ada bangunan yang tampak terbakar.

Sebelum sempat berpikir lebih jauh, pintu mobil pemadam terbuka, dan petugas dengan sigap mulai mengeluarkan selang besar. Wajah mereka serius, seperti benar-benar sedang dalam misi darurat.

"Woi, woi, kalian mau nyemprot apaan?" tanyaku sambil melambai, merasa mereka salah alamat. Tapi tanpa aba-aba, selang besar itu sudah disambungkan ke mesin, dan fwoooossh!---semburan air besar menyapaku tepat di halte, membuat seluruh tubuhku basah kuyup dalam sekejap.

"Woi! Apa-apaan ini!" Aku berteriak panik. Bungkusan gorengan di tanganku sudah seperti tisu basah yang hancur. Aku terduduk, tak berdaya, sambil menerima nasib diguyur air pemadam kebakaran.

Petugas itu buru-buru berlari ke arahku. "Maaf, Bang, tadi ada laporan asap. Kami kira ada kebakaran di sini."

"Asap? Kebakaran? Mana ada kebakaran di sini!" Aku berteriak, mengangkat tangan tanda protes, tapi sia-sia---aku sudah basah dari ujung kepala sampai kaki.

Petugas lain menatap halte yang berasap tipis. "Tuh, lihat, itu kan asap?" katanya sambil menunjuk.

Aku mengikuti arah pandang mereka dan baru sadar... itu bukan asap kebakaran. Itu asap dari kompor penjual gorengan yang tadi jadi penyebabku hampir kabur! Jadi mereka mengira asap kecil dari kompor ini adalah kebakaran.

"Ini cuma gorengan, Pak! Bukan kebakaran!" teriakku putus asa. Petugas itu tampak malu, menggaruk-garuk kepala sambil meminta maaf. Di sisi lain, si penjual gorengan yang ternyata juga kena basah malah tertawa ngakak, wajahnya merah menahan geli.

"Waduh, saya baru lihat orang disemprot pemadam, padahal cuma ngadem di halte!" ujarnya sambil terkekeh.

Aku hanya bisa mengelus dada, mencoba menerima kenyataan betapa konyolnya hari ini. Petugas pemadam akhirnya kembali ke mobil mereka sambil terus meminta maaf. Sambil tersenyum kecut, aku mengangguk, memaklumi kesalahpahaman ini.

Sebelum mereka pergi, seorang petugas menepuk bahuku. "Maaf ya, Bang. Mungkin ini pengingat biar besok-besok jangan duduk dekat asap. Hati-hati, ya, Bang!"

Aku menahan diri untuk tidak menggerutu, tapi dalam hati aku membatin, "Apa salahku, Tuhan? Hanya duduk di halte, nunggu bus, bisa jadi korban pemadam."

Ketika bus yang kutunggu akhirnya tiba, aku melangkah masuk dengan ransel, baju, dan sepatu basah kuyup. Seluruh penumpang menatapku heran. Tak ada yang bisa kujelaskan, aku hanya tertawa kecil sambil menunduk malu. Kubayangkan wajah si abang gorengan, petugas pemadam yang masih tertawa, dan asap kecil yang jadi biang kerok hari ini.

Hari itu, aku mendapat pelajaran berharga: jangan pernah meremehkan asap dari penjual gorengan. Ternyata asap kecil pun bisa berakibat besar, bahkan sebesar disemprot selang pemadam!

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun