Aku yang duduk di atas bangku kecil hanya bisa mendengarkan sambil sesenggukan dan memasukkan nasi dan sayur daun singkong santan dengan rasa sesak. Itulah seorang Ibu kalau sedang marah seharusnya berkata yang baik karena kata-kata ibu itu adalah doa. Kata-kata ibu masih aku ingat dengan baik sampai sekarang.
Ayahku hanya diam duduk di tengah pintu dapur sambil menghisap rokok dan memandangi hutan di belakang rumah kami. Ayah memang lebih banyak diam kepada anaknya. Jarang sekali marah. Berkata hanya jika ada perlu saja. Tapi kasih sayangnya untukku sama seperti kasih sayang ibu kepadaku. Misalnya kalau minta uang jajan ke Ibu biasanya ditanya ini dan itu, tapi kalau ayah tidak usah minta, beliau selalu memberiku uang jajan kalau habis gajian untuk jajan 1 minggu.
Mimpi itu bermula dari sebuah kompetisi lomba adzan. Seorang dosen muda dari Bandung datang ke desa kami. Dia adalah sahabat Ayah waktu di sekolah dasar dulu. Anak seorang tokoh di desa kami yang pernah mendirikan pondok pesantren. Sayang pondok pesantren itu harus lenyap karena kekacauan politik saat itu. Dia datang bersama istri dan anaknya. Dengan bekal pengalaman di pulau Jawa, dia mengadakan perlombaan untuk menyambut hari lahirnya Nabi Muhammad saw. atau yang sering disebut maulid nabi. Perlombaannya bermacam-macam. Dari lomba membaca al Quran sampai lomba adzan. Diikuti oleh seluruh majelis taklim yang ada di desa dari kampung blok 1 sampai blok 20.
Aku diminta oleh guru mengaji di majelis taklim kami untuk mengikuti lomba adzan.
“kalau mau ikut lomba, ibu dan ayah dukung. Ibu do’akan kau menang. Tapi kalau kalah, kau harus siap” kata Ibu sambil tersenyum saat aku menceritakan bahwa aku akan ikut lomba Adzan.
Kata-kata yang memberikan aku pelajaran dalam hidup bahwa kita harus mempersiapkan diri terhadap kemungkinan yang paling buruk yang akan kita hadapi. Ya, pelajaran itu selalu aku pegang dalam mengarungi bahtera kehidupan.
Meski tidak jadi juara pertama, tapi aku menang menjadi juara ketiga. Aku sangat senang. Ayah juga terlihat sangat senang membawaku pulang ke rumah sambil mengayuh sepeda. Ibu menyambutku dengan suka cita. Tampak di wajahnya rasa khawatir dan cemas jika aku kalah, hilang seketika dengan senyumnya sambil meneteskan air mata.
“selamat ya nak” ucap Ibu sambil mencium dan memelukku.
Lalu kami buka isi kardus hadiah juara 3 itu bersama-sama dan ternyata isinya buku tulis 1 lusin.
“aku ingin sekolah” kataku spontan.
Ayah dan Ibu saling berpandangan. Suasana hening sejenak. “sekolah Arab (baca: diniyah atau sekolah agama) dulu saja” kata Ayah. Ibu mengangguk tanda setuju. Saat itu umurku 7 tahun, umur di mana kebanyakan anak akan masuk ke sekolah dasar, bukan sekolah Arab. Mungkin mereka berfikir sekolah Arab bagus untuk persiapan sebelum masuk ke sekolah dasar atau mungkin karena saat itu mereka belum punya biaya untuk mendaftarkanku ke sekolah dasar. Apapun itu tidak masalah. Saat itu aku gembira karena aku akan sekolah.