Hidup adalah rangkaian mimpi - mimpi yang diucapkan dalam hati dan diperjuangkan. Mimpi –mimpi yang terwujud akan membentuk rasi bintang indah menandai kesuksesan dalam kehidupan. Itulah makna hidup bagiku. Dibesarkan di lingkungan seorang petani di desa terpencil di provinsi Sumatera Utara, aku berjuang agar aku bisa menjadi manusia yang berguna bagi agama, nusa dan bangsa.Itu doa yang senantiasa dipanjatkan oleh ibuku untuk anak-anaknya.
Kondisi lingkungan di desa sama sekali berbeda dengan di kota. Di desa bisa menyekolahkan anak sampai ke jenjang perguruan tinggi saat itu merupakan angan-angan semata. Apalagi latar belakang penuduk di desa kami adalah transmigran dari pulau Jawa yang mencoba peruntungan hidup dengan membuka hutan liar di pulau Sumatera. Mencari mata pencaharian adalah tujuan utama, bukan bersekolah.
Aku bersyukur memiliki orang tua seperti mereka. Meski Ayah dan Ibuku tidak mampu menyelesaikan pendidikan di sekolah dasar karena kendala biaya, mereka punya mimpi agar anak-anaknya kelak mampu merasakan bangku kuliah. Jangankan untuk ikut ujian akhir, ke sekolah saja mereka tanpa alas kaki. Kisah ibuku lebih tragis. Beliau menyerah saat akan mengikuti ujian akhir. Sedangkan Ayah sudah tidak melanjutkan sekolah sejak di kelas 4. Begitulah Ibu bercerita tentang untuk memotivasi diriku agar aku bisa bersekolah lebih dari jenjang yang pernah mereka tempuh.
Meski aku dilahirkan di lingkungan petani, Ayah dan Ibu selalu melarangku untuk membantu mereka di ladang seperti anak-anak lain seusiaku. Mereka hanya berpesan agar aku harus belajar dengan sungguh-sungguh. Tak perlu ikut bertani dan memikirkan biaya sekolah. Entah kenapa mereka begitu yakin bahwa anak-anaknya akan berhasil dalam memperoleh pendidikan yang lebih baik dari mereka.
Aku masih ingat saat kami tinggal di rumah sangat sederhana di kampung blok XI, ayah bangun pukul 2 dini hari untuk mengambil bibit padi di belakang rumah yang akan ditanam di sawah. Jangan dibayangkan kampung kami padat seperti kampung-kampung di pulau Jawa. Jarak antara rumah yang satu dengan lainnya bervariasi. Rumah berjejer dengan jarak ke kanan dan ke kiri 10-12 meter. Sedangkan ke belakang rumah lebih lebar lagi. Biasanya di belakang rumah ada pohon kelapa, pohon karet dan ilalang. Ayah cukup bernyali untuk mengambil bibit dini hari demi menghidupi kami. Ibu juga cukup bernyali ditinggal berdua di rumah bersamaku yang masih berumur sekitar 5 tahun.
Biasanya sebelum adzan subuh berkumandang, ibu sudah bangun dan menyiapkan sarapan untuk kami bertiga. Selepas shubuh kami sarapan dan bersiap pergi ke sawah. Sebelum matahari terbit kami sudah berangkat mengayuh sepeda menembus embun pagi yang dingin dengan pandangan yang masih remang-remang. Aku duduk di depan dibonceng Ibu. Sedangkan Ayah mengikuti kami dari belakang.
Sawah tempat ayah dan ibu menanam padi saat itu bukanlah sawah kami, melainkan sawah orang lain. Ayah dan Ibu hanya pekerja di sawah tersebut. Mereka bekerja dari sawah yang satu ke sawah yang lain, termasuk bekerja di sawah milik saudara. Penghasilannya pun tidak seberapa. Hanya cukup untuk kami bertiga. Meskipun demikian, ibu selalu berusaha untuk bisa menyisihkan sebagian uang yang mereka dapatkan dengan cara memasak sayur-sayuran dari ladang seadanya seperti daun singkong atau genjer yang tumbuh di sawah. Saat Ayah dan Ibu bekerja di sawah aku biasanya duduk di gubuk kecil melihat mereka dari kejauhan. Jika lelah, aku akan berbaring. Sesekali aku bermain jika ada teman di sawah.
Kata ibu waktu kecil aku sering jatuh sakit. Sembuh dari penyakit yang satu, datang lagi penyakit yang lain. Kadang Ayah dan Ibu sampai berdebat menentukan kemana harus berobat, dari dokter sampai ke “orang pintar” di desa sudah mereka datangi. Aku juga selektif dalam memilih menu makanan. Maunya yang enak-enak seperti daging ayam dan ikan. Kalau tidak ada menu yang disukai, aku tidak mau makan. Kadang aku makan sambil menangis karena terpaksa memakan sayuran dari ladang yang tidak aku suka, meskipun bergizi.
‘Maafkan aku Ayah, maafkan aku Ibu. Sudah sering aku menyusahkan kalian’.
Di saat marah itulah ibu sering memberiku mimpi-mimpi yang aku ingat sampai sekarang.
“kalau kau tak mau makan daun singkong, jadilah orang pandai bersekolah biar kau bisa makan apa saja yang kau mau. Yang enak-enak” kata ibu sambil membenahi kayu bakar di tungku api dapur kami.