Pagi itu, langit masih kelabu ketika suara ketukan keras menggema di pintu rumahku. Aku tahu siapa mereka. Pasti Pak RT dan rombongannya datang lagi dengan alasan "kebersihan lingkungan". Ketukan itu sudah terlalu sering terdengar di rumah ini. Mereka tidak pernah bosan datang, beralasan ingin membantu, padahal yang mereka inginkan adalah memastikan bahwa rumahku—atau lebih tepatnya diriku—berada dalam keadaan yang mereka anggap "normal". Aku memeluk bantal tua yang sudah mulai kusam, menyandarkan tubuhku ke dinding yang sudah lama tidak dicat, berharap mereka akan pergi begitu saja.
Namun, kali ini, ketukan itu terdengar berbeda. Lebih keras. Mereka tidak mau menyerah. Mereka pasti merasa aku harus ditolong, seolah-olah aku adalah masalah yang harus segera dipecahkan. Aku tidak bergerak, tidak ada niat untuk membuka pintu. Biarkan mereka mengetuk sampai lelah.
Namun, pintu yang kukunci tiba-tiba saja didorong dengan kasar. Aku mendengar suara kayu pintu yang gemeretak, seakan-akan mereka memaksaku untuk menghadapi kenyataan bahwa ini adalah saat mereka akan "membantu" aku, yang mereka anggap sebagai orang yang tak bisa mengurus diri sendiri. Aku masih diam, tidak ada yang berubah. Tidak ada yang lebih menyakitkan daripada melihat mereka bergerak cepat dan sibuk, seolah-olah mereka tahu segalanya.
Pintu terbuka dengan suara berderit keras. Pak RT, yang sudah aku kenal terlalu lama, masuk lebih dulu, diikuti oleh Bu RT, beberapa tetangga lainnya, dan satpam kompleks yang selalu tampak canggung saat berurusan dengan hal-hal semacam ini. Mereka membawa karung-karung besar, sapu, dan alat kebersihan. Wajah mereka tampak serius, tegang, tidak ada ekspresi keramahan seperti yang biasanya kuterima saat bertemu mereka di luar rumah. Kali ini mereka tidak tampak seperti tetangga, mereka tampak seperti tentara yang datang untuk menjalankan misi.
"Reni ," suara Bu RT terdengar lebih lembut dari biasanya, seolah-olah ia berusaha menenangkan aku yang sudah mulai merasa gelisah. "Kami hanya ingin membantumu. Kamu tahu, ini demi kebaikanmu."
Aku mengangkat bahu, tidak ingin menjawab. Kata-kata mereka terasa semakin kosong, seiring berjalannya waktu. Mereka tidak tahu apa yang mereka bicarakan. Tidak ada yang bisa mengerti kenapa aku begitu enggan menerima "pertolongan" mereka. Aku hanya ingin mereka pergi, membiarkanku hidup di rumahku dengan caraku sendiri.
Tetangga yang baru saja pindah, yang jarang aku temui sebelumnya, tampak sedikit ragu-ragu saat masuk ke dalam. Ia menutup hidungnya dengan sapu tangan, mungkin tidak tahan dengan bau lembap yang memenuhi udara di sekitar kami. Aku mengamatinya dengan pandangan kosong. Tak seorang pun di antara mereka yang tahu apa yang sedang kutanggung, atau kenapa rumah ini menjadi seperti ini. Bagi mereka, rumahku adalah tempat yang kotor dan tak terurus. Bagiku, rumah ini adalah tempat yang penuh kenangan, kenangan yang tidak akan pernah mereka pahami.
Seorang bapak yang sering tersenyum ramah di warung sebelah mengambil botol plastik bekas yang tergeletak di lantai. "Ini bisa jadi sarang nyamuk," katanya sambil menggelengkan kepala, seolah-olah menemukan sesuatu yang benar-benar menjijikkan. Aku tahu botol itu. Itu adalah botol minuman yang kubawa pulang setelah pesta ulang tahun teman masa kecilku. Dulu, saat aku masih memiliki teman-teman yang mengajakku berkumpul, benda-benda seperti itu selalu menjadi kenangan manis yang ingin kukoleksi. Kini, teman-temanku sudah pergi. Yang tersisa hanya botol-botol bekas yang menjadi satu-satunya saksi bisu dari waktu yang sudah berlalu.
Aku tidak menanggapi. Aku hanya duduk diam, menonton mereka mengumpulkan barang-barang dari sudut-sudut rumahku. Mereka mengangkat kardus-kardus tua yang sudah menumpuk, meletakkan pakaian lama dalam karung-karung besar, mengganti seprai kasur yang sudah kusam dan penuh bekas-bekas kenangan. Aku hanya mengikuti gerakan mereka dengan tatapan kosong, perasaan hampa yang menyelimuti hatiku. Rumah ini terasa semakin jauh dariku. Semua benda yang mereka anggap sampah, bagi aku adalah bagian dari diriku yang sulit kutinggalkan.
Ketika Bu RT membuka lemari dapur, ia berteriak kaget. "Astaga! Kecoak! Banyak sekali!"
Beberapa orang mundur dengan wajah jijik, menutupi hidung dan mulut mereka, sementara aku hanya tertawa dalam hati. Kecoak-kecoak itu adalah teman-teman setiaku. Mereka tidak pernah meninggalkanku, selalu ada di saat aku merasa kesepian dan tak ada yang peduli. Mereka adalah satu-satunya yang bisa kutakuti dan sekaligus kutemani di malam-malam panjang yang penuh keheningan. Mereka tak pernah bertanya kenapa aku terperangkap dalam rumah ini, mereka hanya ada, seperti mereka selalu ada.
"Reni , ini tidak sehat," ujar Bu RT dengan nada lebih tegas, kali ini suaranya berubah menjadi peringatan. "Kamu tidak bisa terus hidup seperti ini. Kami ingin kamu hidup lebih baik, Reni ."
Mereka tidak mengerti. Mereka tidak tahu bahwa yang mereka anggap kotor dan menjijikkan adalah bagian dari hidupku. Setiap barang yang mereka anggap sampah adalah kenangan yang tak ingin kulepaskan. Setiap noda di dinding adalah jejak dari masa lalu yang penuh dengan cinta, canda, dan perasaan yang kini hilang. Mereka mungkin berpikir bahwa aku hanya perlu sedikit kebersihan untuk merasa lebih baik, tetapi kenyataannya, mereka sudah menghapus semua yang ada di dalam diriku.
Pak RT, yang biasanya tidak banyak bicara, menepuk bahuku dengan lembut. "Kami hanya ingin yang terbaik untukmu, Nak," katanya, mencoba memberiku pengertian. Aku menatapnya tanpa bisa berkata-kata. Tidak ada yang bisa mengerti. Mereka tidak tahu bahwa rumah ini, dengan segala kekurangannya, adalah rumah yang dulu penuh dengan suara tawa dan kebahagiaan.
Akhirnya, mereka selesai. Rumahku kini terlihat bersih. Lantai mengkilat, udara segar tanpa bau lembap, dan kasurku kini berseprai putih yang terkesan terlalu baru. Mereka tersenyum puas, merasa bahwa mereka telah melakukan sesuatu yang baik, sesuatu yang menyelamatkan aku. Namun, aku merasa seperti bagian dari diriku telah hilang, tak tergantikan. Mereka tak pernah tahu, mereka tak pernah akan tahu.
Setelah mereka pergi, rumah ini terasa semakin asing. Lantai yang sebelumnya penuh dengan debu kini terasa keras dan dingin. Dinding yang sebelumnya dipenuhi dengan kenangan kini kosong dan membosankan. Semua yang mereka anggap kotor, aku lihat sebagai potongan-potongan hidup yang hilang. Rumahku bukan lagi milikku. Itu hanya sebuah ruangan kosong yang tak bisa lagi menahan semua kenangan yang pernah ada.
Malam itu, setelah semuanya pergi, aku duduk di lantai yang terasa lebih dingin dari biasanya. Aku menatap langit-langit yang kini terasa begitu jauh, seolah-olah aku telah kehilangan semuanya. Aku merindukan kecoak-kecoakku, botol-botol bekas yang selalu menemani, merindukan debu-debu yang memenuhi sudut rumah ini. Aku merindukan rumahku yang sebenarnya.
Aku tahu, mulai sekarang, mereka akan menganggap aku lebih baik, lebih teratur, lebih normal. Tapi mereka tidak tahu bahwa yang mereka ambil bukan hanya sampah, bukan hanya barang-barang lama. Mereka telah mengambil bagian dari diriku. Dan kini, aku merasa lebih sendirian dari sebelumnya. Rumah ini telah kehilangan semua yang membuatnya berarti bagiku. Kini, aku hanya memiliki ruang kosong yang tak lagi memiliki jiwa.
---
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI