Mohon tunggu...
Syahrial
Syahrial Mohon Tunggu... Guru - Guru Madya

Belajar dari menulis

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Rumah yang Hilang

3 Februari 2025   00:01 Diperbarui: 2 Februari 2025   17:26 15
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber foto Meta AI 

Pagi itu, langit masih kelabu ketika suara ketukan keras menggema di pintu rumahku. Aku tahu siapa mereka. Pasti Pak RT dan rombongannya datang lagi dengan alasan "kebersihan lingkungan". Ketukan itu sudah terlalu sering terdengar di rumah ini. Mereka tidak pernah bosan datang, beralasan ingin membantu, padahal yang mereka inginkan adalah memastikan bahwa rumahku—atau lebih tepatnya diriku—berada dalam keadaan yang mereka anggap "normal". Aku memeluk bantal tua yang sudah mulai kusam, menyandarkan tubuhku ke dinding yang sudah lama tidak dicat, berharap mereka akan pergi begitu saja.

Namun, kali ini, ketukan itu terdengar berbeda. Lebih keras. Mereka tidak mau menyerah. Mereka pasti merasa aku harus ditolong, seolah-olah aku adalah masalah yang harus segera dipecahkan. Aku tidak bergerak, tidak ada niat untuk membuka pintu. Biarkan mereka mengetuk sampai lelah.

Namun, pintu yang kukunci tiba-tiba saja didorong dengan kasar. Aku mendengar suara kayu pintu yang gemeretak, seakan-akan mereka memaksaku untuk menghadapi kenyataan bahwa ini adalah saat mereka akan "membantu" aku, yang mereka anggap sebagai orang yang tak bisa mengurus diri sendiri. Aku masih diam, tidak ada yang berubah. Tidak ada yang lebih menyakitkan daripada melihat mereka bergerak cepat dan sibuk, seolah-olah mereka tahu segalanya.

Pintu terbuka dengan suara berderit keras. Pak RT, yang sudah aku kenal terlalu lama, masuk lebih dulu, diikuti oleh Bu RT, beberapa tetangga lainnya, dan satpam kompleks yang selalu tampak canggung saat berurusan dengan hal-hal semacam ini. Mereka membawa karung-karung besar, sapu, dan alat kebersihan. Wajah mereka tampak serius, tegang, tidak ada ekspresi keramahan seperti yang biasanya kuterima saat bertemu mereka di luar rumah. Kali ini mereka tidak tampak seperti tetangga, mereka tampak seperti tentara yang datang untuk menjalankan misi.

"Reni ," suara Bu RT terdengar lebih lembut dari biasanya, seolah-olah ia berusaha menenangkan aku yang sudah mulai merasa gelisah. "Kami hanya ingin membantumu. Kamu tahu, ini demi kebaikanmu."

Aku mengangkat bahu, tidak ingin menjawab. Kata-kata mereka terasa semakin kosong, seiring berjalannya waktu. Mereka tidak tahu apa yang mereka bicarakan. Tidak ada yang bisa mengerti kenapa aku begitu enggan menerima "pertolongan" mereka. Aku hanya ingin mereka pergi, membiarkanku hidup di rumahku dengan caraku sendiri.

Tetangga yang baru saja pindah, yang jarang aku temui sebelumnya, tampak sedikit ragu-ragu saat masuk ke dalam. Ia menutup hidungnya dengan sapu tangan, mungkin tidak tahan dengan bau lembap yang memenuhi udara di sekitar kami. Aku mengamatinya dengan pandangan kosong. Tak seorang pun di antara mereka yang tahu apa yang sedang kutanggung, atau kenapa rumah ini menjadi seperti ini. Bagi mereka, rumahku adalah tempat yang kotor dan tak terurus. Bagiku, rumah ini adalah tempat yang penuh kenangan, kenangan yang tidak akan pernah mereka pahami.

Seorang bapak yang sering tersenyum ramah di warung sebelah mengambil botol plastik bekas yang tergeletak di lantai. "Ini bisa jadi sarang nyamuk," katanya sambil menggelengkan kepala, seolah-olah menemukan sesuatu yang benar-benar menjijikkan. Aku tahu botol itu. Itu adalah botol minuman yang kubawa pulang setelah pesta ulang tahun teman masa kecilku. Dulu, saat aku masih memiliki teman-teman yang mengajakku berkumpul, benda-benda seperti itu selalu menjadi kenangan manis yang ingin kukoleksi. Kini, teman-temanku sudah pergi. Yang tersisa hanya botol-botol bekas yang menjadi satu-satunya saksi bisu dari waktu yang sudah berlalu.

Aku tidak menanggapi. Aku hanya duduk diam, menonton mereka mengumpulkan barang-barang dari sudut-sudut rumahku. Mereka mengangkat kardus-kardus tua yang sudah menumpuk, meletakkan pakaian lama dalam karung-karung besar, mengganti seprai kasur yang sudah kusam dan penuh bekas-bekas kenangan. Aku hanya mengikuti gerakan mereka dengan tatapan kosong, perasaan hampa yang menyelimuti hatiku. Rumah ini terasa semakin jauh dariku. Semua benda yang mereka anggap sampah, bagi aku adalah bagian dari diriku yang sulit kutinggalkan.

Ketika Bu RT membuka lemari dapur, ia berteriak kaget. "Astaga! Kecoak! Banyak sekali!"

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun