Aroma masakan tradisional menghangatkan hatiku begitu menginjakkan kaki di kampung Terang Bulan. Di sini, di tanah kelahiran ibuku, kehidupan mengalir dengan kesederhanaan yang menenangkan jiwa. Pepohonan tua yang berjajar di sepanjang jalan tanah seolah menyambutku dengan tarian dedaunannya yang lembut tertiup angin. Kedatanganku bukan sekadar nostalgia - ada sesuatu yang kurindukan, meski aku sendiri belum bisa menamainya.
"Kamu pasti anaknya Kecit," sapa seorang perempuan tua dengan mata berbinar, tangannya masih menggenggam sapu lidi. Langkahku terhenti, terkejut sekaligus terharu. "Empat puluh tahun berlalu sejak ibumu pergi, tapi matamu - persis seperti dia waktu muda."
Bibirku tersenyum kikuk, mengingat betapa sering aku menolak ajakan ibu untuk pulang ke kampung ini. Dalam arogansi kota besarku, aku menganggap kampung hanyalah masa lalu yang sudah seharusnya ditinggalkan.
Di depan rumah nenek yang kini sepi, kakiku seperti berakar ke tanah. Meski kayunya dimakan usia, aroma khas kayu tua dan tanah basah membangkitkan kenangan yang tertidur lama. Dalam kesunyian, bisikan cerita ibu tentang masa kecilnya mengalun lembut - tentang tawa riang di bawah pohon mangga ini, tentang nenek yang selalu setia dengan alat tenunnya di tangga depan. Kini, rumah ini berdiri sebagai saksi bisu perjalanan waktu.
Mataku menangkap sosok gadis muda yang tengah menganyam bambu di bawah pohon mangga.Â
"Kakak baru datang dari kota ya?" sapanya hangat. Namanya Cu'ai. Ada jejak kerja keras di telapak tangannya yang kasar, tapi senyumnya memancarkan kedamaian yang telah lama kulupakan.
Hari-hariku mengalir bersama Cu'ai. Dia membuka mataku pada kesederhanaan yang indah: rahasia menanam padi, kearifan memilih sayur, dan yang terpenting - cara menemukan ketenangan dalam kesenyapan. Namun di balik kedamaian kampung ini, ada gelisah yang tersembunyi.
Suatu sore, ketika kami duduk di pematang sawah menikmati semburat jingga, Cu'ai berbisik lirih. "Kak sudah dengar kabar kalau kampung ini mau digusur?"
Dadaku seperti dihantam batu. "Digusur? Untuk apa?"
"Resort mewah, kata mereka." Cu'ai menghela napas panjang, matanya menerawang jauh ke hamparan padi yang menguning. "Tapi bagi kami, tanah ini lebih dari sekadar tempat tinggal. Di sini tertanam jiwa leluhur kami. Kalau tanah ini hilang, hilang pula cerita kami."
Hatiku mencelos. Sebagai pegawai perusahaan properti di kota, aku terlalu familiar dengan alur cerita seperti ini. Berapa banyak mimpi yang telah dihancurkan demi gedung-gedung tinggi? Malam itu, di kamar nenek yang kini sunyi, layar laptopku memantulkan kenyataan pahit - nama perusahaanku tertera sebagai pengembang proyek. Rasa bersalah menyelimuti seperti kabut tebal.
"Kenapa tidak melapor ke pemerintah?" tanyaku pada Cu'ai keesokan harinya.
Senyum getir menghiasi wajahnya. "Sudah kami coba, Kak . Tapi siapa yang mendengar suara kecil kami? Yang tersisa hanya tekad untuk mempertahankan warisan leluhur."
Di balai kampung , aku menyaksikan semangat perjuangan yang membara. Seorang tetuakampung berkata dengan suara bergetar, "Tanah ini bukan sekadar tanah. Ini adalah cerita hidup kita, harapan anak cucu kita."
Suatu malam, Cu'ai mengajakku ke bukit kecil di ujung kampung . Di bawah hamparan bintang,kampung Terang Bulan terlihat damai.
"Lihat burung-burung itu," Cu'ai menunjuk ke langit. "Mereka bebas mengepakkan sayap ke mana saja, tapi selalu tahu ke mana harus pulang. Itulah makna kebebasan yang sesungguhnya."
Kata-katanya mengguncang batinku. Selama ini, aku mengira kebebasan adalah tentang mengejar prestasi dan materi. Tapi di sini, di antara kesederhanaan kampung , aku menemukan makna yang lebih dalam - tentang mengenal jati diri dan menemukan tempat untuk pulang.
Hari-hari berikutnya kuhabiskan membantu warga menyusun dokumen perlawanan. Kuhubungi teman-teman jurnalis, mengetuk pintu-pintu aktivis. Tapi setiap malam, pertanyaan yang sama menghantuiku: sanggupkah aku mempertaruhkan segalanya?
Di makam nenek, air mataku mengalir deras. "Maafkan aku, Nek. Aku telah lama melupakan dari mana aku berasal."
Keputusanku sudah bulat berjuang bersama warga kampung . Mungkin ini bukan jalan termudah, tapi untuk pertama kalinya, hatiku terasa begitu ringan.
Cu'ai memelukku erat saat berpamitan. "Jangan lupa pulang, Kak . Di sini selalu ada rumah untukmu."
Dalam perjalanan kembali ke kota, suaraku bergetar menelepon ibu. "Bu, sekarang aku paham mengapa Ibu selalu mengingatkan untuk pulang. Di kampung ini, di tanah ini, aku menemukan siapa diriku sebenarnya."
Perjuangan menyelamatkan kampung Terang Bulan ternyata jauh lebih berat dari yang kubayangkan. Setiap minggu, representatif dari perusahaan resort datang dengan tawaran yang semakin menggiurkan. Mereka membawa proposal dengan angka-angka yang bisa mengubah hidupku selamanya. "Pikirkan masa depanmu," begitu mereka membujuk. Beberapa rekan lamaku di firma hukum bahkan menelepon di tengah malam, suara mereka penuh kekhawatiran tentang karirku yang "sedang dipertaruhkan dengan sia-sia."
Tapi setiap kali keraguan mulai menggerogoti, aku hanya perlu berjalan ke tengah kampung. Di sana, kisah-kisah hidup berumur ratusan tahun terukir di setiap sudutnya. Pohon-pohon tua yang menjadi saksi bisu kelahiran hingga pernikahan generasi demi generasi. Resep turun-temurun yang aromanya menguar dari dapur-dapur sederhana. Suara gendang yang masih setia mengalun setiap kali kampung mengadakan upacara adat. Semua ini terlalu berharga untuk ditukar dengan segepok uang.
Ketika akhirnya surat keputusan pembatalan proyek resort itu tiba, rasanya seperti beban berat terangkat dari pundak seluruh warga. Di sore yang teduh itu, aku duduk bersama Cu'ai, tetua kampung yang telah kuanggap seperti ayah sendiri, di bawah naungan pohon mangga yang telah berusia lebih dari seabad. Kami tidak banyak bicara, hanya tersenyum menatap anak-anak yang berlarian dengan tawa lepas mereka. Sesekali angin sepoi membawa aroma masakan dari rumah-rumah penduduk, bercampur dengan wangi bunga melati dari pekarangan. Ada kedamaian yang sulit dijelaskan dengan kata-kata - sebuah kepuasan mendalam karena telah berjuang untuk sesuatu yang benar, untuk mewariskan cerita pada generasi mendatang bahwa ada hal-hal yang tidak bisa dinilai dengan uang.
Kini, setiap kali hiruk-pikuk kota membuatku sesak, aku selalu mengingat kampung Terang Bulan. Mengingat Cu'ai dengan kebijaksanaannya yang sederhana, mengingat aroma tanah basah sehabis hujan, dan mengingat pelajaran paling berharga: bahwa kebebasan sejati adalah ketika kita bisa menerima siapa diri kita dan mengenal di mana hati kita berakar.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI