Hatiku mencelos. Sebagai pegawai perusahaan properti di kota, aku terlalu familiar dengan alur cerita seperti ini. Berapa banyak mimpi yang telah dihancurkan demi gedung-gedung tinggi? Malam itu, di kamar nenek yang kini sunyi, layar laptopku memantulkan kenyataan pahit - nama perusahaanku tertera sebagai pengembang proyek. Rasa bersalah menyelimuti seperti kabut tebal.
"Kenapa tidak melapor ke pemerintah?" tanyaku pada Cu'ai keesokan harinya.
Senyum getir menghiasi wajahnya. "Sudah kami coba, Kak . Tapi siapa yang mendengar suara kecil kami? Yang tersisa hanya tekad untuk mempertahankan warisan leluhur."
Di balai kampung , aku menyaksikan semangat perjuangan yang membara. Seorang tetuakampung berkata dengan suara bergetar, "Tanah ini bukan sekadar tanah. Ini adalah cerita hidup kita, harapan anak cucu kita."
Suatu malam, Cu'ai mengajakku ke bukit kecil di ujung kampung . Di bawah hamparan bintang,kampung Terang Bulan terlihat damai.
"Lihat burung-burung itu," Cu'ai menunjuk ke langit. "Mereka bebas mengepakkan sayap ke mana saja, tapi selalu tahu ke mana harus pulang. Itulah makna kebebasan yang sesungguhnya."
Kata-katanya mengguncang batinku. Selama ini, aku mengira kebebasan adalah tentang mengejar prestasi dan materi. Tapi di sini, di antara kesederhanaan kampung , aku menemukan makna yang lebih dalam - tentang mengenal jati diri dan menemukan tempat untuk pulang.
Hari-hari berikutnya kuhabiskan membantu warga menyusun dokumen perlawanan. Kuhubungi teman-teman jurnalis, mengetuk pintu-pintu aktivis. Tapi setiap malam, pertanyaan yang sama menghantuiku: sanggupkah aku mempertaruhkan segalanya?
Di makam nenek, air mataku mengalir deras. "Maafkan aku, Nek. Aku telah lama melupakan dari mana aku berasal."
Keputusanku sudah bulat berjuang bersama warga kampung . Mungkin ini bukan jalan termudah, tapi untuk pertama kalinya, hatiku terasa begitu ringan.
Cu'ai memelukku erat saat berpamitan. "Jangan lupa pulang, Kak . Di sini selalu ada rumah untukmu."