Mohon tunggu...
Syahrial
Syahrial Mohon Tunggu... Guru - Guru Madya

Belajar dari menulis

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Kembali ke Akar

21 Januari 2025   11:59 Diperbarui: 21 Januari 2025   11:59 108
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Dalam perjalanan kembali ke kota, suaraku bergetar menelepon ibu. "Bu, sekarang aku paham mengapa Ibu selalu mengingatkan untuk pulang. Di kampung ini, di tanah ini, aku menemukan siapa diriku sebenarnya."

Perjuangan menyelamatkan kampung Terang Bulan ternyata jauh lebih berat dari yang kubayangkan. Setiap minggu, representatif dari perusahaan resort datang dengan tawaran yang semakin menggiurkan. Mereka membawa proposal dengan angka-angka yang bisa mengubah hidupku selamanya. "Pikirkan masa depanmu," begitu mereka membujuk. Beberapa rekan lamaku di firma hukum bahkan menelepon di tengah malam, suara mereka penuh kekhawatiran tentang karirku yang "sedang dipertaruhkan dengan sia-sia."

Tapi setiap kali keraguan mulai menggerogoti, aku hanya perlu berjalan ke tengah kampung. Di sana, kisah-kisah hidup berumur ratusan tahun terukir di setiap sudutnya. Pohon-pohon tua yang menjadi saksi bisu kelahiran hingga pernikahan generasi demi generasi. Resep turun-temurun yang aromanya menguar dari dapur-dapur sederhana. Suara gendang yang masih setia mengalun setiap kali kampung mengadakan upacara adat. Semua ini terlalu berharga untuk ditukar dengan segepok uang.

Ketika akhirnya surat keputusan pembatalan proyek resort itu tiba, rasanya seperti beban berat terangkat dari pundak seluruh warga. Di sore yang teduh itu, aku duduk bersama Cu'ai, tetua kampung yang telah kuanggap seperti ayah sendiri, di bawah naungan pohon mangga yang telah berusia lebih dari seabad. Kami tidak banyak bicara, hanya tersenyum menatap anak-anak yang berlarian dengan tawa lepas mereka. Sesekali angin sepoi membawa aroma masakan dari rumah-rumah penduduk, bercampur dengan wangi bunga melati dari pekarangan. Ada kedamaian yang sulit dijelaskan dengan kata-kata - sebuah kepuasan mendalam karena telah berjuang untuk sesuatu yang benar, untuk mewariskan cerita pada generasi mendatang bahwa ada hal-hal yang tidak bisa dinilai dengan uang.

Kini, setiap kali hiruk-pikuk kota membuatku sesak, aku selalu mengingat kampung Terang Bulan. Mengingat Cu'ai dengan kebijaksanaannya yang sederhana, mengingat aroma tanah basah sehabis hujan, dan mengingat pelajaran paling berharga: bahwa kebebasan sejati adalah ketika kita bisa menerima siapa diri kita dan mengenal di mana hati kita berakar.

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun