Gigitan pertama roti panggang itu mengundang tawa kecil. "Rasanya... manis," ujarnya tulus. "Terima kasih."
Didit bersorak, Wage tersenyum lega. Titin menemukan alasan untuk terus bermimpi dalam dua lelaki yang kini memenuhi harinya dengan harapan.
Hujan rintik membalut kota dalam selimut kesejukan ketika Titin melangkah masuk ke kafe Pak Karjo. Tas di bahunya terasa ringan, namun laptop di dalamnya membawa beban harapan yang tak terkira.
"Kopi hitam, Mbak Titin?"
"Dan semangat ekstra, Pak," balasnya tersenyum.
Dari sudut favoritnya dekat jendela, Titin mengamati tetesan air yang menciptakan pola di kaca. Ia membuka laptop perlahan, mengingat semua percakapan dan pelukan yang mengisi hari-harinya belakangan ini.
Namun kini, bukan hanya cerita tentang mimpi-mimpi yang ia tulis, melainkan perjalanan untuk menemukannya kembali.
"Pada usia tiga puluh lima tahun, seorang perempuan belajar bahwa titik nol bukanlah akhir, melainkan awal dari perjalanan menuju dirinya yang sebenarnya..."
Saat cangkir kopinya kosong dan langit berubah jingga, Titin menatap layar laptopnya dengan bangga. Halaman itu kini dipenuhi cerita—bukan sekadar rangkaian kata, tapi kesaksian tentang perempuan yang akhirnya berani kembali bermimpi.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H