"Aku kepikiran cerita dinosaurusku, Bu. Aku bingung dinosaurusnya takut apa lagi."
Titin menghela napas panjang, menarik Didit ke dalam pelukannya. "Kadang, menulis itu memang butuh keberanian. Nggak apa-apa kalau bingung, yang penting kamu terus mencoba."
Didit mengangguk. "Kalau Ibu nulis apa sekarang?" tanyanya, menunjuk laptop.
"Ibu juga sedang belajar menulis lagi," jawab Titin, menyadari bahwa ucapan itu lebih ditujukan untuk dirinya sendiri.
Setelah Didit kembali tidur, langkah pelan Wage mengusik konsentrasi Titin. "Belum tidur?" Wage berdiri di ambang pintu.
Titin buru-buru menutup laptop. "Sebentar lagi," bisiknya, menelan gumpalan takut yang menggantung di tenggorokan.
Wage mendekat, berhenti di samping meja. "Menulis lagi?" Suaranya melembut, asing namun familiar.
Titin mengangguk perlahan, bersiap menghadapi kemungkinan terburuk. Namun Wage justru duduk di tepi meja, matanya berbinar—kilau yang sama saat mereka masih muda dan penuh harap.
"Ingat cerpenmu waktu kita pacaran? Tentang gadis yang takut laut tapi bermimpi jadi pelaut?"
Kenangan itu menyeruak, menerangi sudut gelap dalam benak Titin. "Kamu masih ingat?"
"Setiap kata," Wage tersenyum. "Aku jatuh cinta pada perempuan yang membuatku percaya pada mimpi. Tapi aku terlalu sibuk mengejar mimpiku sendiri sampai lupa mendukung mimpimu."