Mohon tunggu...
Syahrial
Syahrial Mohon Tunggu... Guru - Guru Madya

Belajar dari menulis

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Bunga Liar di Taman Istana

18 Januari 2025   00:01 Diperbarui: 17 Januari 2025   20:44 35
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber foto: Meta AI 

Kabar tentang hubungan ini sampai ke telinga ayah Derahap, seorang demang yang tak segan menunjukkan otoritasnya. "Gadis itu tidak pantas untukmu!" bentaknya suatu malam. "Kau dijodohkan dengan anak Tuan Mahmud, dan kau akan mematuhi tradisi keluarga!"  

Hati Derahap terbelah. Ia memilih untuk menghindari jalan tempat Seliha berjualan, berharap rasa bersalahnya akan hilang seiring waktu. Tapi setiap pagi tanpa senyuman Seliha terasa seperti duri yang menusuk jiwanya.  

Di sisi lain, Seliha hanya bisa menunggu. Musim hujan datang, membawa udara dingin dan penyakit yang mulai menggerogoti tubuhnya yang lemah. Dalam rumah panggung kecilnya, ia terbaring dengan nafas yang semakin berat, sementara ayahnya duduk tak berdaya di sampingnya. Hujan terus mengguyur, seolah dunia ikut menangis untuk kisah cinta yang tak pernah sempat bermekaran.

---  

Kembali ke kios bunga, ingatan Derahap melesat ke masa yang tak bisa ia lupakan---hari ketika ia memberanikan diri mendatangi rumah Seliha untuk terakhir kalinya. Rumah panggung kecil itu tampak suram, diterangi hanya oleh lampu minyak yang redup. Hujan deras mengguyur atap rumbia, iramanya seakan menyatu dengan detak jantung Derahap yang berdegup kencang.  

Ia mendapati Seliha terbaring di atas dipan bambu, tubuhnya terlihat rapuh seperti ranting yang hampir patah. Namun, meski lemah, tatapan mata Seliha tetap memancarkan ketegaran yang membuat Derahap merasa kecil.  

"Tuan Derahap?" Suara Seliha terdengar serak, hampir seperti bisikan, tapi cukup untuk menghentikan langkahnya. "Kenapa Tuan ke sini?"  

Derahap berlutut di samping dipan, tangannya gemetar menggenggam jemari dingin Seliha. "Aku minta maaf, Seliha," katanya dengan suara bergetar. "Aku pengecut. Aku biarkan tradisi, status, dan keluarga mematahkan keberanianku... memisahkanku darimu."  

Seliha tersenyum tipis, penuh kegetiran. "Tuan tidak perlu minta maaf," katanya lemah. "Hidup kita memang tak pernah sejajar. Bunga yang tumbuh di pinggir jalan tak pernah dirancang untuk menghiasi taman istana."  

Kata-katanya seperti belati yang menusuk dada Derahap. Ia menarik nafas dalam, berusaha menahan gejolak emosinya. "Tapi aku ingin mengubah itu, Seliha," katanya akhirnya, suaranya dipenuhi tekad. "Aku ingin taman istana dipenuhi bunga-bunga liar yang seindah dirimu. Aku ingin dunia tahu bahwa kau pantas berdiri di sana. Kumohon, berikan aku kesempatan kedua. Aku akan memperjuangkan kita."  

Seliha menatapnya dalam-dalam, air matanya mengalir pelan di sudut matanya yang redup. "Kesempatan kedua, ya?" bisiknya, senyum samar kembali menghiasi wajahnya. "Tapi bunga sepertiku tak selalu bertahan lama di musim hujan, Tuan..."  

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun