Di sebuah kios bunga kecil di Tanjungpandan, aroma melati menguar lembut, menyelimuti ruangan dengan kehangatan yang samar. Di sudut kios , seorang pria berseragam rapi bernama Derahap tampak sibuk membantu istrinya, Seliha, menyusun bunga pesanan pelanggan. Senyuman tipis terlukis di wajahnya, namun matanya menyimpan cerita yang tak pernah ia ungkapkan. Ketika tangannya menyentuh setangkai melati putih, langkahnya terhenti. Ada sesuatu pada bunga itu---sebuah kenangan yang menyeruak tanpa diundang, membawanya kembali ke masa lalu yang kelam, penuh rahasia, dan keputusan yang mengubah hidupnya selamanya. Â
---Â Â
Tanjungpandan, tahun 1930-an. Matahari pagi merayap pelan di atas jalan-jalan berbatu kota pelabuhan, memantulkan cahaya ke kios-kios yang mulai ramai. Aroma rempah bercampur bau asin laut, sementara denting lonceng sepeda dan suara seruan pedagang menciptakan simfoni kehidupan. Namun, di tengah hiruk-pikuk itu, di tepi jalan berdebu, seorang gadis muda duduk di atas tikar usang---Seliha. Â
Keranjang bunga di depannya penuh dengan bunga liar yang baru dipetik, warna-warninya kontras dengan pakaiannya yang lusuh. Jemarinya yang lentik, meski kasar karena kerja keras, dengan cekatan merangkai bunga menjadi karangan sederhana, masing-masing penuh jiwa. Ada sesuatu yang berbeda dari Seliha. Mata teduhnya menyimpan cerita tentang kegetiran dan harapan, tentang seorang gadis yang hidupnya telah dicuri waktu. Â
Sejak ibunya meninggal lima tahun lalu, Seliha menggantikan peran sebagai tulang punggung keluarga. Ayahnya, yang lumpuh akibat kecelakaan tambang, hanya bisa terbaring di rumah panggung kecil mereka, sementara Seliha berkeliling kebun-kebun penduduk setiap pagi, memetik bunga untuk dijual. Â
Di jalan itu pula, Derahap, seorang juru tulis muda di kantor pemerintah kolonial, selalu melintas. Derahap adalah gambaran sempurna pria terpandang---berseragam rapi, penuh wibawa, tapi menyimpan kehampaan yang hanya ia tahu. Namun, semuanya berubah pada suatu pagi ketika ia melihat Seliha. Â
"Selamat pagi, Tuan," sapa Seliha. Suaranya lembut, tapi cukup untuk mengguncang kesunyian batin Derahap. Â
Ia berhenti, pandangannya tertarik pada setangkai melati di keranjang Seliha. "Melati ini harum sekali," gumamnya, seolah berbicara lebih kepada dirinya sendiri. Â
"Bunga liar selalu punya aroma lebih kuat, Tuan," jawab Seliha, bibirnya melengkung dalam senyum kecil yang penuh arti. "Mungkin karena mereka tumbuh melawan."Â Â
Kata-kata itu menancap di benak Derahap. Sejak hari itu, ia tak pernah melewatkan pagi tanpa membeli bunga dari Seliha. Percakapan-percakapan singkat mereka berkembang menjadi jalinan yang tak bisa ia jelaskan. Namun, cinta mereka, seperti bunga liar, tumbuh di tanah yang keras. Â