Dalam ingatan yang samar, Fauzi kembali ke masa kecilnya, saat ia untuk pertama kalinya merasakan amukan laut yang sesungguhnya. Ia dan ayahnya tengah melaut di tengah cuaca yang tampak tenang. Namun, angin tiba-tiba berubah menjadi kencang, membawa ombak besar yang mengguncang perahu kecil mereka. Fauzi kecil, yang saat itu hanya berusia tujuh tahun, kehilangan pegangan dan terlempar ke dalam air yang dingin. Â
Ia ingat betul rasa panik yang menyergapnya---air asin yang menyesakkan paru-paru, tubuh kecilnya yang berjuang melawan arus, dan teriakan ayahnya yang berusaha mencapainya. Dalam hitungan detik yang terasa seperti selamanya, tangan kokoh ayahnya menariknya ke permukaan. Â
"Laut bisa menjadi sahabat, Fauzi, tapi juga musuh yang tak kenal ampun," kata ayahnya dengan suara bergetar setelah memastikan anaknya selamat. "Jangan pernah meremehkannya, dan jangan pernah berpikir kau bisa menaklukkannya. Kau harus menghormatinya."Â Â
Kini, di tengah gelap dan dinginnya air laut, kata-kata ayahnya kembali menggema di benaknya. Dengan tubuh yang lemah, Fauzi mengerahkan seluruh kekuatan yang tersisa. Setiap gerakan tangannya seolah diiringi bayangan ayahnya yang menuntunnya keluar dari kegelapan. "Kau tak boleh menyerah, Fauzi," suara itu terdengar di benaknya. Ia berenang, melawan rasa sakit, hingga akhirnya mencapai tepian pantai yang menyelamatkan nyawanya. Â
Di rumah, Septi yang ditelepon oleh rekan Fauzi langsung datang membantu. Dengan perawatan sederhana, Fauzi mulai pulih, meski rasa sakit di tubuhnya masih terasa. Â
"Bu Septi," ucap Fauzi pelan, "Saya tidak bisa diam saja. Kapal-kapal itu merampas masa depan kita."Â Â
Septi mengangguk. "Tapi kali ini, kita harus lebih cermat. Bukan hanya bertindak sendiri, tapi bersama."Â Â
Setelah pulih, Fauzi bekerja sama dengan komunitas nelayan dan lembaga kelautan setempat. Mereka membentuk kelompok pengawas pantai yang terorganisir, melibatkan aparat keamanan untuk patroli bersama. Laporan mereka mulai mendapatkan perhatian serius. Operasi gabungan dilakukan, dan kapal-kapal asing yang berulang kali melanggar wilayah berhasil ditangkap. Â
Di sekolah, Septi memutar otak untuk membantu masyarakat memahami pentingnya menjaga laut. Ia tahu, anak-anak sering menjadi jembatan terbaik untuk menyampaikan pesan kepada orang dewasa. Dengan semangat, ia menginisiasi program kampanye pelestarian laut melalui seni dan cerita. Â
"Anak-anak," kata Septi suatu pagi di kelas, "Coba bayangkan, apa yang terjadi jika laut kita tidak dijaga? Apa yang akan hilang?"Â Â
Salah satu murid, seorang anak laki-laki bernama Dodi, mengangkat tangan. "Ikan-ikan, Bu Guru. Papa saya bilang, ikan akan pergi kalau lautnya rusak."Â Â