Semilir angin pagi membawa aroma garam khas pesisir Manggar. Fauzi, seorang nelayan berusia 28 tahun, duduk termenung di tepian dermaga kayu yang mulai lapuk. Matanya menatap jauh ke cakrawala, tempat matahari perlahan muncul dari balik awan kelabu. Ia teringat masa kecilnya, saat ayahnya, Pak Karim, mengajaknya melaut untuk pertama kalinya. Â
"Laut adalah hidup kita, Fauzi," kata ayahnya waktu itu sambil memegang dayung dengan kokoh, wajahnya tegas namun penuh kasih. "Ia memberi kita makan, tapi juga mengajarkan kita untuk menghormatinya. Laut ini bukan milik kita sendiri. Ia adalah warisan, untukmu, anak-anakmu, dan semua yang akan hidup setelah kita."Â Â
Fauzi kecil memandangi ayahnya dengan kagum, melihat bagaimana lelaki itu mengarahkan perahu kecil mereka dengan percaya diri di tengah gulungan ombak. Hari itu, mereka menangkap ikan kakap besar, dan Fauzi masih ingat betapa beratnya menarik jaring ke dalam perahu. Ayahnya tertawa sambil berkata, "Laut memberi hadiah pada yang sabar dan bekerja keras."Â Â
Kini, kenangan itu terasa seperti bayangan yang jauh. Ia memandang laut yang sama, tetapi tak lagi tenang. Cahaya lampu dari kapal-kapal asing yang mencuri ikan di kejauhan terasa seperti pengkhianatan. Dalam lamunannya, Fauzi hampir bisa mendengar suara ayahnya lagi, seolah berbisik dari masa lalu, "Jika kau tak melindunginya, siapa lagi?" Kalimat itu bergema di pikirannya, menyulut api kecil di dadanya. Ia tahu, lautan ini telah berubah, tapi ia belum siap menyerah pada keadaan. Â
"Pak Fauzi!" Sebuah suara riang membuyarkan lamunannya. Neti, gadis kecil berseragam merah putih dengan tas ransel usang, berlari kecil ke arahnya. "Hari ini mau melaut ke mana?"Â Â
Fauzi tersenyum tipis, mengacak rambut Neti yang dikepang dua. "Masih rahasia, Dik. Kalau dapat ikan besar, kamu yang pertama tahu."Â Â
"Janji ya! Nanti saya kasih tahu Bu Septi juga!" Neti melambaikan tangan sebelum berlari menuju sekolah. Â
Fauzi menghela napas panjang. Sudah tiga bulan terakhir hasil tangkapan nelayan Manggar merosot drastis. Bukan karena kurangnya keterampilan atau malas melaut, tetapi akibat kapal-kapal asing yang mencuri ikan di perairan mereka. Lampu-lampu terang kapal pencuri itu sering terlihat di kejauhan, seperti duri yang menusuk harga diri Fauzi. Â
Ia teringat percakapannya dengan beberapa nelayan lain di balai desa beberapa minggu lalu. Suasana balai yang biasanya penuh canda berubah menjadi tegang. Wajah Pak Basri, salah satu nelayan senior, terlihat suram. "Kalau begini terus, kita bisa bangkrut," keluhnya sambil menatap meja kayu di depannya. "Anak-anak kita mau makan apa? Sudah berhari-hari saya pulang dengan jaring kosong."Â Â
Rian, seorang nelayan muda dengan mata penuh semangat, menyahut dengan nada gusar. "Apa kita nggak bisa lapor ke aparat, Pak Fauzi? Kapal-kapal itu terang-terangan mencuri di depan mata kita!"Â Â