Mohon tunggu...
Syahrial
Syahrial Mohon Tunggu... Guru - Guru Madya

Belajar dari menulis

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Kaca Pecah

15 Januari 2025   00:01 Diperbarui: 14 Januari 2025   20:16 91
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber foto : Meta AI 

Pagi itu, mentari menyusup lembut melalui jendela rumah kayu sederhana di tepi desa. Sutipa tersenyum kecil melihat Rihen, putranya yang berusia lima tahun, berlari ke dapur sambil memanggil nama ayahnya. Suaminya, Juno, duduk di kursi rotan, menyeruput kopi sambil membaca koran. Kehangatan itu terasa nyata, seperti mimpi yang Sutipa takutkan akan sirna.

"Ayo, Nak. Setelah ini kita pergi memancing," ujar Juno sambil mengusap kepala Rihen.

Sutipa tertawa kecil. "Aku akan memasak gangan malam ini. Jadi pastikan tangkapanmu bagus."

Hari itu dimulai seperti biasa. Juno mengantar pesanan kayu ke kota, sementara Sutipa sibuk di kebun, menyiangi rumput liar yang tumbuh subur di antara tanamannya. Namun, menjelang sore, sebuah ketukan di pintu rumah mereka memecah rutinitas itu. Tetangga mereka berdiri di depan pintu dengan wajah tegang.

"Juno... dia mengalami kecelakaan di jalan utama," katanya dengan suara berat.

Sutipa tertegun. Tubuhnya gemetar saat ia berlari ke puskesmas. Di sana, di ruang dingin yang penuh keheningan, ia menyaksikan dunia yang selama ini ia kenal runtuh. Juno telah pergi, meninggalkan Sutipa dan Rihen dengan kekosongan yang menyesakkan.

Di sudut puskesmas, matanya tertuju pada cermin kecil di dinding yang retak. Ia menatap bayangannya yang kusut dan matanya yang basah. "Seperti ini rasanya... hidup yang pecah," pikirnya.

Minggu-minggu pertama setelah kepergian Juno terasa seperti kabut tebal yang tak kunjung sirna. Sutipa tenggelam dalam rutinitas kosong. Kebun yang dulu menjadi pelariannya kini terbengkalai. Rihen sering bertanya, "Kenapa Ayah tidak pulang, Bu?" Sutipa hanya bisa memeluknya erat, mencoba menahan air mata yang mengalir diam-diam.

Bisikan tetangga mulai terdengar, seperti jarum-jarum kecil yang menusuk telinganya. "Bagaimana Sutipa akan bertahan tanpa Juno? Dia hanya ibu rumah tangga."

Namun, di tengah segala tekanan itu, sahabatnya, Dayang, tak pernah absen mengunjunginya setiap dua hari. Ia datang membawa makanan, mengajak Rihen bermain, atau sekadar duduk diam menemani Sutipa yang tenggelam dalam kesedihan.

"Sutipa, kau harus bangkit. Untuk Rihen," kata Dayang suatu sore, sambil menggenggam tangan sahabatnya itu. Kata-kata itu terus terngiang di kepala Sutipa, tapi rasa takut dan ragu menghantuinya.

Malam-malam Sutipa tetap sunyi, penuh dengan rasa kehilangan yang menggigit. Dalam keheningan itu, ia sering mendengar suara Juno, melihat senyumnya, dan teringat bagaimana suaminya selalu mampu memperbaiki apa pun yang rusak.

Sebulan setelah kepergian Juno, saat membersihkan gudang, Sutipa menemukan pecahan kaca dari lampu gantung yang pernah diperbaiki suaminya. Ia memegang pecahan itu dengan hati-hati, merasakan tepian tajamnya di ujung jari. "Kaca pecah ini tidak bisa kembali seperti semula," pikirnya, "tapi Juno selalu percaya bahwa barang rusak bisa diperbaiki."

Dengan rasa ingin tahu yang samar, Sutipa mulai membersihkan pecahan kaca itu. Ia menyusunnya menjadi pola sederhana di atas meja dapur. Larut malam, ia selesai. Hasilnya jauh dari sempurna, tapi ada sesuatu yang menghangatkan hatinya.

"Kau membuat ini?" tanya Dayang keesokan harinya. "Ini indah, Sutipa. Kau punya bakat."

Mendengar cerita tentang karya Sutipa, Pak Nga Asim, tetangga mereka yang dulunya pengrajin kaca, menawarkan diri untuk mengajarinya. Setiap sore setelah Rihen tidur siang, Sutipa menghabiskan dua jam di bengkel kecil Pak Nga Asim, belajar dasar-dasar kerajinan kaca.

"Pertama-tama, kau harus belajar cara memotong kaca dengan benar," Pak Nga Asim menjelaskan sambil mendemonstrasikan gerakan yang tepat dengan pemotong kaca. "Terlalu keras, kaca akan pecah tak beraturan. Terlalu lemah, tidak akan memotong sama sekali."

Sutipa menghabiskan minggu pertama hanya untuk belajar memotong kaca. Jarinya penuh plester, hasil dari kesalahan-kesalahan awal. Namun, Pak Nga Asim dengan sabar terus membimbingnya.

"Kehidupan ini seperti kaca, Sutipa," kata Pak Nga Asim suatu sore, saat mengajarinya cara menghaluskan tepian kaca yang tajam. "Kadang pecah. Tapi jika kau sabar, kau bisa menyatukannya kembali."

Minggu kedua, Sutipa belajar menyusun pecahan kaca menjadi pola. Pak Nga Asim mengajarinya cara memilih warna dan bentuk yang serasi, bagaimana menempelkan pecahan kaca dengan lem khusus, dan teknik mengisi celah dengan semen putih.

"Lihat bagaimana celah hitam ini justru membuat polanya lebih menonjol?" Pak Nga Asim menunjuk hasil kerja Sutipa. "Seperti luka dalam hidup, kadang justru membuat kita lebih kuat."

Terkadang Sutipa gagal. Jarinya terluka, dan kaca pecah lebih banyak dari yang ia harapkan. Namun, setiap kali ia merasa ingin menyerah, ia teringat pada Rihen yang mulai ikut tertarik dengan kegiatan ibunya. Bocah kecil itu sering duduk di samping ibunya, membantu memilih pecahan kaca dengan warna-warna cerah.

"Yang biru ini bagus, Bu," katanya suatu hari, memegang sepotong kaca berwarna biru laut. "Seperti mata Ayah."

Setelah tiga bulan berlatih, Sutipa mulai menghasilkan karya yang lebih baik. Dari cermin sederhana hingga hiasan dinding, tangannya semakin terampil menciptakan pola-pola yang indah. Pak Nga Asim mengajarinya cara membuat bingkai dari kayu bekas dan teknik finishing yang membuat karyanya tampak profesional.

Suatu pagi, didorong oleh Dayang dan Pak Nga Asim, Sutipa memutuskan untuk membawa karya-karyanya ke pasar desa. Ia merasa gugup saat menata mosaiknya di meja kecil, takut tak ada yang tertarik.

Namun, reaksi orang-orang di pasar melampaui dugaannya. Banyak yang terpukau oleh keindahan mosaiknya. Seorang pembeli bertanya tentang makna di balik karyanya, dan Sutipa menjelaskan dengan suara bergetar, "Setiap kaca ini pernah pecah, tapi direkatkan kembali menjadi sesuatu yang baru. Begitu pula hidup saya."

Pesanan mulai berdatangan, perlahan membantu Sutipa memenuhi kebutuhan keluarganya. Lebih dari itu, ia menemukan kembali semangat yang sempat hilang. Bengkel kecil Pak Nga Asim kini menjadi tempatnya bekerja, dengan Rihen yang sering bermain di dekatnya setelah pulang sekolah.

Enam bulan berlalu sejak hari pertama ia memegang pecahan kaca itu. Pada suatu sore, Sutipa duduk di beranda bersama Rihen, menikmati matahari terbenam. Di tangannya, ia memegang cermin kecil yang pernah ia lihat di puskesmas. Kini, cermin itu telah dihiasi bingkai mosaik kaca yang ia buat sendiri.

"Kaca pecah memang tak bisa kembali seperti semula," katanya kepada Rihen, "tapi kita bisa menyatukannya kembali. Meski tak sempurna, ia tetap indah."

Rihen tersenyum lebar, menggenggam tangan ibunya. Sutipa menatap anaknya dengan mata penuh harapan. Hidup mereka mungkin tak lagi sama, tapi kini ia tahu: ia lebih kuat dari yang pernah ia bayangkan. Seperti mosaik dari kaca-kaca pecah, kehidupannya telah menjadi sesuatu yang baru---lebih kokoh dan bermakna.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun