Mohon tunggu...
Syahrial
Syahrial Mohon Tunggu... Guru - Guru Madya

Belajar dari menulis

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Kaca Pecah

15 Januari 2025   00:01 Diperbarui: 14 Januari 2025   20:16 90
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Terkadang Sutipa gagal. Jarinya terluka, dan kaca pecah lebih banyak dari yang ia harapkan. Namun, setiap kali ia merasa ingin menyerah, ia teringat pada Rihen yang mulai ikut tertarik dengan kegiatan ibunya. Bocah kecil itu sering duduk di samping ibunya, membantu memilih pecahan kaca dengan warna-warna cerah.

"Yang biru ini bagus, Bu," katanya suatu hari, memegang sepotong kaca berwarna biru laut. "Seperti mata Ayah."

Setelah tiga bulan berlatih, Sutipa mulai menghasilkan karya yang lebih baik. Dari cermin sederhana hingga hiasan dinding, tangannya semakin terampil menciptakan pola-pola yang indah. Pak Nga Asim mengajarinya cara membuat bingkai dari kayu bekas dan teknik finishing yang membuat karyanya tampak profesional.

Suatu pagi, didorong oleh Dayang dan Pak Nga Asim, Sutipa memutuskan untuk membawa karya-karyanya ke pasar desa. Ia merasa gugup saat menata mosaiknya di meja kecil, takut tak ada yang tertarik.

Namun, reaksi orang-orang di pasar melampaui dugaannya. Banyak yang terpukau oleh keindahan mosaiknya. Seorang pembeli bertanya tentang makna di balik karyanya, dan Sutipa menjelaskan dengan suara bergetar, "Setiap kaca ini pernah pecah, tapi direkatkan kembali menjadi sesuatu yang baru. Begitu pula hidup saya."

Pesanan mulai berdatangan, perlahan membantu Sutipa memenuhi kebutuhan keluarganya. Lebih dari itu, ia menemukan kembali semangat yang sempat hilang. Bengkel kecil Pak Nga Asim kini menjadi tempatnya bekerja, dengan Rihen yang sering bermain di dekatnya setelah pulang sekolah.

Enam bulan berlalu sejak hari pertama ia memegang pecahan kaca itu. Pada suatu sore, Sutipa duduk di beranda bersama Rihen, menikmati matahari terbenam. Di tangannya, ia memegang cermin kecil yang pernah ia lihat di puskesmas. Kini, cermin itu telah dihiasi bingkai mosaik kaca yang ia buat sendiri.

"Kaca pecah memang tak bisa kembali seperti semula," katanya kepada Rihen, "tapi kita bisa menyatukannya kembali. Meski tak sempurna, ia tetap indah."

Rihen tersenyum lebar, menggenggam tangan ibunya. Sutipa menatap anaknya dengan mata penuh harapan. Hidup mereka mungkin tak lagi sama, tapi kini ia tahu: ia lebih kuat dari yang pernah ia bayangkan. Seperti mosaik dari kaca-kaca pecah, kehidupannya telah menjadi sesuatu yang baru---lebih kokoh dan bermakna.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun