Lampu-lampu warung kopi Pak Haji berkedip lemah, bersaing dengan cahaya lampu sorot di kejauhan pelabuhan Manggar. Di sudut warung yang menghadap ke Jalan Sudirman, sebuah radio tua mengalunkan lagu dangdut Rhoma Irama, suaranya berbaur dengan debur ombak Laut Cina Selatan yang tak pernah lelah menghantam bibir pantai. Â
A San memarkir motor Honda GL Pro-nya yang mulai renta di depan warung, tepat di bawah papan "Warkop Pak Haji" yang catnya mengelupas dimakan waktu. Jaket jeans lusuhnya masih menyimpan jejak debu jalanan Manggar yang ia susuri seharian mengojek. Ia menyeruput kopi khas Manggar perlahan, rasa pahitnya menohok lidah, seperti meneguk sejarah masa kejayaan tambang timah yang kini tinggal kenangan. Â
"Bagaimana hasil hari ini, San?" tanya Pak Haji sambil mengelap meja kayu dengan telaten. Lelaki tua itu masih setia mengenakan peci putih dan baju koko bersih, wajahnya menyimpan ketenangan seorang sesepuh yang telah menyaksikan berbagai perubahan Manggar. Â
"Alhamdulillah lumayan, Pak Haji," jawab A San dengan senyum tipis. "Tapi makin sulit cari penumpang. Turis-turis sekarang lebih suka sewa mobil. Yang naik ojek paling cuma yang mau ke gang-gang sempit Pasar Manggar atau jalan setapak menuju pantai."Â Â
"Zaman berubah, San," Pak Haji menghela napas panjang. "Dulu tambang timah jadi napas kota ini. Sekarang Manggar jadi kota wisata. Tapi apa semua orang kebagian rezeki?"Â Â
A San mengaduk kopinya yang mulai mendingin, pandangannya menerawang ke luar warung. Pikiran tentang jalanan Manggar yang ia susuri setiap hari mengalir seperti alunan lagu dangdut dari radio tua di pojok ruangan. Sebagai tukang ojek yang sering merangkap pemandu wisata dadakan, ia tahu persis setiap sudut kota ini. Gang-gang sempit di Pasar Manggar, bekas kolong tambang yang sekarang berubah jadi danau dengan air berwarna biru kehijauan, hingga pantai-pantai tersembunyi yang seperti rahasia kecil kota ini, belum sempat disentuh oleh tangan-tangan developer yang haus keuntungan.
"Tadi ada bule dari Prancis," ujar A San, mencoba mengusir suasana murung yang menggantung di antara mereka. Ia meletakkan sendok kecilnya, senyum tipis tersungging di wajahnya. "Dia minta diantar ke danau bekas tambang. Katanya pemandangannya surreal, mirip lokasi syuting film Hollywood."
Pak Haji menghentikan gerakannya mengelap meja. Ia tertawa kecil, tetapi matanya menyiratkan kelelahan. "Orang kota memang pandai mencari keindahan di tempat yang tak terduga," katanya, lalu melipat kain lapnya dengan rapi. "Tapi apa mereka tahu? Di balik keindahan itu ada cerita pilu. Berapa banyak keluarga yang kehilangan mata pencarian saat tambang-tambang itu tutup? Berapa banyak anak-anak penambang yang terpaksa putus sekolah?"
A San terdiam, mencoba menelan kenyataan pahit yang baru saja diutarakan Pak Haji. Ia ingat bagaimana ayahnya dulu pulang dari tambang dengan wajah lelah tetapi penuh kebanggaan, membawa cerita tentang bongkahan timah yang mereka temukan. Sekarang, cerita itu hanya tinggal kenangan. Danau yang dikagumi turis itu dulunya adalah tempat ayahnya bekerja keras, tempat yang kini menyimpan sisa-sisa harapan yang tenggelam di dasarnya.
Di luar, bulan separuh menggantung rendah, cahayanya memantulkan kilau temaram pada atap-atap rumah panggung khas Belitung yang masih setia berdiri meski diapit oleh ruko-ruko modern. Angin malam membawa aroma laut dan sisa-sisa nostalgia dari masa yang tak lagi sama. A San memandang langit dengan pikiran yang melayang. Kata-kata almarhum ayahnya, seorang penambang timah yang keras tetapi penuh kasih, terngiang kembali dalam ingatannya. *"Manggar akan selalu berubah, San. Tapi jangan pernah lupakan tempatmu berdiri."* Kata-kata itu terasa seperti mantra, membimbingnya di tengah derasnya arus perubahan.