"Mar'en, nak," suara Pak Ustad Ramli terdengar dari balik pintu suatu hari. "Kami semua merindukanmu di masjid. Kehadiranmu tidak hanya tentang suara adzan. Kau adalah bagian dari keluarga kami. Allah tidak pernah memberikan ujian melebihi kemampuan hamba-Nya."
Namun kata-kata penghiburan itu tak mampu menembus dinding kesedihan yang Mar'en bangun. Ia merasa telah kehilangan tujuan hidupnya, merasa tak layak lagi berada di rumah Allah. Setiap malam, mimpi buruk tentang kecelakaan itu menghantuinya, membuatnya terbangun dengan tubuh bermandikan keringat dingin dan dada yang sesak oleh penyesalan.
Berita bahwa sopir truk yang menabraknya ternyata dalam kondisi mabuk saat kejadian semakin memperburuk keadaan. Kemarahan dan dendam mulai menggerogoti hatinya yang sudah rapuh. Ia menulis surat pengaduan ke polisi, menuntut keadilan, namun proses hukum yang berlarut-larut hanya menambah beban pikirannya.
Hingga suatu malam yang dingin, setelah berminggu-minggu mengurung diri, Mar'en akhirnya memberanikan diri keluar rumah untuk membeli obat di apotek terdekat. Sakit kepala yang menderanya sudah tak tertahankan. Di bawah cahaya lampu jalan yang temaram, matanya menangkap sosok seorang remaja lusuh yang meringkuk di depan mushola kecil.
Remaja itu, dengan jaket kumal dan rambut berantakan, tampak sedang mengamati orang-orang yang keluar dari mushola seusai sholat Isya. Ada sesuatu dalam sorot matanya yang menarik perhatian Mar'en, sesuatu yang mengingatkannya pada dirinya di masa lalu.
"Assalamualaikum," sapa remaja itu tiba-tiba ketika menyadari kehadiran Mar'en. "Maaf bang, boleh tanya sesuatu?"
Mar'en mengangguk pelan, mengeluarkan notes kecil dari sakunya -- kebiasaan baru yang terpaksa ia adopsi sejak kehilangan suaranya.
"Saya Rizki," remaja itu memperkenalkan diri dengan suara yang sedikit bergetar. "Saya... sebenarnya saya ingin tahu lebih banyak tentang Islam. Sudah seminggu saya mengamati mushola ini, tapi tidak berani masuk. Saya tidak tahu caranya sholat, tidak bisa mengaji. Orang tua saya tidak pernah mengajari."
Mar'en tertegun. Tangannya yang sedikit gemetar menulis di notes: "Kenapa tertarik dengan Islam?"
Rizki terdiam sejenak. Dalam keremangan malam, matanya yang nanar menerawang jauh, seolah menembus kabut kenangan yang gelap. Suaranya bergetar ketika ia mulai bercerita, "Saya sudah lama hidup di jalanan, Bang. Tidur di emperan toko, makan dari sisa warung... dan ya, mencuri." Ia menghela napas berat. "Demi sepiring nasi, saya rela berkelahi sampai babak belur. Demi selembar baju, saya berani merampas tas orang. Hidup saya seperti binatang buas yang hanya tahu bertahan hidup."
Ia berhenti sejenak, menelan ludah yang terasa pahit. "Tapi sebulan lalu, Allah mengirim seseorang yang mengubah hidup saya." Suaranya melembut, sementara matanya mulai berkaca-kaca. "Waktu itu hujan deras. Perut saya keroncongan. Saya lihat ada bapak tua keluar dari masjid, sepertinya baru sholat Ashar. Dompetnya menyembul dari saku... sasaran empuk." Rizki mengusap matanya yang mulai basah.