Mohon tunggu...
Syahrial
Syahrial Mohon Tunggu... Guru - Guru Madya

Belajar dari menulis

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Pertemuan Kedua

5 Januari 2025   05:02 Diperbarui: 5 Januari 2025   05:02 126
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Sinar matahari sore menerobos jendela kafe, menciptakan bayangan panjang di lantai kayu. Aku duduk di sudut ruangan, tempat favoritku dan Luna dulu. Secangkir kopi hitam mengepul di hadapanku, sama seperti tiga tahun lalu saat terakhir kali kami berdua di sini.

Tiga tahun berlalu sejak malam mengerikan itu. Malam yang seharusnya menjadi perayaan ulang tahun pernikahan kami yang pertama, berubah menjadi mimpi buruk yang tak berujung. Mobil Luna ditemukan terbalik di dasar jurang, dilalap api yang begitu ganas hingga menelan segalanya. Yang tersisa hanyalah serpihan-serpihan kenangan dan cincin pernikahan kami yang hangus - cincin yang kutemukan tergeletak lima meter dari bangkai mobil, masih berkilau redup seolah menertawakan takdir.

Polisi bilang Luna tewas seketika, tapi tak ada jejak DNA yang bisa memastikan teori mereka. Tak ada sidik jari. Tak ada bukti konkret. Hanya spekulasi dan simpati yang terasa hampa. Setiap malam aku masih terbangun, bermandikan keringat dingin, dihantui pertanyaan yang sama: bagaimana mungkin api bisa menghanguskan segalanya, tapi menyisakan cincin itu dalam kondisi yang masih bisa dikenali?

Lamunanku buyar ketika sosok itu melangkah masuk. Waktu seakan membeku. Jantungku berhenti berdetak untuk sepersekian detik yang terasa seperti keabadian. Wanita itu - dengan rambut hitam panjang yang jatuh sempurna membingkai wajahnya, gerakan anggun yang seolah menari di atas lantai, dan gestur kecil saat jemarinya menyelipkan helai rambut ke belakang telinga - adalah Luna yang bangkit dari abu. Bahkan caranya mengedarkan pandangan ke sekeliling ruangan, mencari-cari sesuatu dengan sorot mata yang teduh namun tajam, persis seperti yang selalu dilakukan Luna.

Namanya Aria. Setidaknya itulah yang tertulis di kartu nama berwarna pastel yang ia sodorkan padaku minggu lalu, saat takdir - atau mungkin sesuatu yang lebih gelap - mempertemukan kami di tempat yang sama. Kartu nama itu kini kusimpan dalam dompet, tepat di samping foto usang Luna, seperti dua keping puzzle yang entah bagaimana terasa saling melengkapi sekaligus mengusik.

"Aldi?" Suaranya lembut memanggilku. "Maaf aku terlambat."

Aku menggeleng pelan. "Tidak apa-apa. Duduklah."

Aria memesan cappuccino dengan ekstra karamel - minuman favorit Luna. Kebetulan yang terlalu sempurna.

"Bagaimana kabarmu?" tanyanya, matanya menatapku dengan cara yang begitu familiar.

"Baik," jawabku singkat, berusaha menahan diri untuk tidak tenggelam dalam memori. "Bagaimana denganmu?"

"Aku..." dia terdiam sejenak, "ada yang ingin kuceritakan padamu."

Jantungku berdegup liar, mengetuk-ngetuk rusuk seperti hendak melarikan diri. Selama seminggu terakhir, kunjungan-kunjunganku ke apartemen Aria telah berubah menjadi semacam obsesi. Setiap langkah di ruangan itu membawaku lebih dalam ke dalam labirin misteri yang semakin membingungkan.

Apartemennya sendiri seperti cermin masa lalu yang retak - familiar namun menyimpang. Lukisan-lukisan abstrak yang tergantung miring di dinding, aroma vanilla dan kayu manis yang mengambang di udara, bahkan susunan pot-pot tanaman di balkon - semuanya menggemakan kehadiran Luna dengan cara yang mencekam.

Tapi yang paling mengusik adalah buku sketsa itu. Kutemukan tersembunyi di sudut tergelap ruang tamu, di balik tumpukan majalah arsitektur. Sampulnya using, dengan noda kopi yang membentuk lingkaran sempurna di sudut kanan - persis seperti yang selalu Luna buat saat dia terlalu asyik menggambar. Di dalamnya, sketsa-sketsa yang membuat bulu kudukku meremang: gambar sepasang tangan yang saling menggenggam di bawah hujan - detail untuk detail sama persis dengan sketsa Luna di halaman pertama buku hariannya. Pohon sakura dengan seekor burung hinggap di ranting ketiga dari kiri - Luna selalu memulai harinya dengan menggambar pemandangan ini. Bahkan goresan-goresan kasar di sudut halaman, yang selalu Luna buat saat sedang gelisah, semuanya ada di sana, seperti copy-paste dari masa lalu.

"Aku tahu ini akan terdengar gila," suara Aria memecah keheningan yang mencekik, matanya berkaca-kaca menahan sesuatu yang lebih dalam dari sekadar air mata. "Tapi ada hal-hal dalam diriku... kenangan-kenangan yang seharusnya tidak kumiliki. Mereka datang dalam mimpi, dalam kilasan-kilasan tak terduga." Dia berhenti sejenak, tangannya gemetar saat meraih cangkir kopi. "Kenangan tentangmu, Aldi. Tentang tempat ini..."

Keheningan yang menyusul terasa seperti jurang menganga di antara kami. Aria menarik napas dalam, suaranya nyaris berbisik saat melanjutkan, "...tentang Luna." Nama itu meluncur dari bibirnya seperti mantra kuno, membawa bersamanya aroma familiar yang selama ini kurindukan.

Tanganku gemetar memegang cangkir kopi. "Bagaimana kau bisa tahu tentang Luna?"

"Aku melihatnya dalam mimpi-mimpiku. Aku melihat kalian berdua di sini, di sudut ini, membicarakan masa depan kalian. Aku melihat pernikahan kalian di taman kota. Aku bahkan..." air matanya mulai menggenang, "aku ingat rasa takut yang luar biasa malam itu, malam kecelakaan itu."

Duniaku berputar. Selama ini aku yakin Aria adalah reinkarnasi Luna. Tapi sekarang...

"Siapa kau sebenarnya?" tanyaku, suaraku bergetar.

Aria - atau Luna? - mengeluarkan sesuatu dari tasnya. Sebuah amplop coklat. "Ini akan menjelaskan semuanya."

Di dalam amplop itu, aku menemukan foto-foto dan dokumen. Foto-foto dari rumah sakit di Singapura, dokumen operasi plastik, dan sebuah surat. Surat yang ditulis dengan tulisan tangan yang sangat kukenal.

"Maafkan aku, Aldi," dia berbisik, air mata mengalir di pipinya. "Aku Luna. Aku masih hidup."

Duniaku runtuh seketika. "Kenapa?" hanya itu yang bisa kuucapkan.

"Malam itu..." Aria - tidak, Luna - mengeluarkan sebuah flashdisk dari kalungnya. Tangannya gemetar. "Aku sedang membereskan berkas-berkas lama di ruang kerja ayahmu ketika menemukan folder tersembunyi dalam komputer kantornya. Awalnya kukira hanya dokumen biasa, tapi kemudian..." Dia menelan ludah, matanya menyiratkan ketakutan yang sama seperti yang kulihat tiga tahun lalu.

"Di dalamnya ada bukti transfer dana sebesar 50 miliar rupiah ke rekening-rekening asing. Proposal-proposal fiktif, mark-up anggaran pembangunan rumah sakit, hingga suap untuk tender-tender pemerintah. Semuanya terkoneksi ke satu nama: ayahmu." Dia menggenggam tanganku, dingin dan bergetar. "Tapi bukan itu yang paling mengerikan."

Luna menarik napas dalam. "Aku menemukan email-email ancaman. Seseorang bernama Marcus - tangan kanan ayahmu - sudah mencurigai aku tahu terlalu banyak. Dia mengirim foto-fotoku saat di kantor, di supermarket, bahkan saat kita makan malam di rumah. Mereka mengawasiku selama berbulan-bulan."

Air mata mulai mengalir di pipinya. "Malam sebelum 'kecelakaan' itu, Marcus menemuiku. Dia membawa sebuah pilihan: menghilang dan membiarkanmu hidup dalam kedukaan, atau mati - dan kau akan menyusul tak lama kemudian. Dia menunjukkan foto-foto penembak bayaran yang sudah mengawasimu selama berminggu-minggu."

"Aku punya waktu 24 jam untuk memutuskan. Mereka sudah menyiapkan semuanya - identitas baru, operasi plastik di Singapura, bahkan 'kecelakaan' yang sempurna." Suaranya pecah. "Bagaimana mungkin aku memilih? Tapi kemudian aku ingat janji pernikahan kita - untuk selalu melindungi satu sama lain. Maka kubiarkan mereka membakar mobilku, menghancurkan hidupku, menghapus semua yang pernah kumiliki... agar kau tetap hidup."

Dia menatapku dengan mata yang sama - mata yang selalu membuatku jatuh cinta berulang kali. "Selama tiga tahun aku mengumpulkan bukti, membangun jaringan, dan perlahan membongkar kejahatan mereka dari balik layar. Sebulan lalu, ketika ayahmu akhirnya ditangkap, aku tahu sudah waktunya pulang. Tapi..." dia tersenyum getir, "bagaimana aku bisa menjelaskan pada suamiku bahwa aku memilih untuk 'mati' demi menyelamatkannya?"

Tawa pahit meluncur dari bibirku, menggema di ruangan yang mendadak terasa terlalu sempit. "Melindungiku?" Suaraku bergetar menahan amarah yang sudah kupendam selama tiga tahun. "Kau tahu berapa kali aku hampir mengakhiri hidupku? Berapa malam aku terbangun mencarimu di setiap sudut rumah? Berapa botol whiskey yang kuteguk untuk menghapus bayanganmu?"

Aku berdiri, mendorong kursiku ke belakang dengan kasar hingga beberapa pengunjung menoleh. "Kau pikir kau melindungiku? Dengan membiarkanku tenggelam dalam rasa bersalah, mengira akulah penyebab kematianmu? Tiga tahun, Luna. Tiga tahun aku mengutuk diriku sendiri, bertanya-tanya apa yang kulakukan salah sampai kau pergi dariku dengan cara seperti itu!"

Luna - dalam wajah Aria yang asing namun familiar - terisak keras. Air matanya jatuh ke atas meja, bercampur dengan tetesan cappuccino yang tumpah. "Aku tahu aku egois," suaranya pecah, tangannya mencengkeram ujung meja hingga buku-buku jarinya memutih. "Setiap hari selama tiga tahun ini, aku mati sedikit demi sedikit. Setiap kali melihat fotoku di altar rumahmu dari jauh, setiap kali mendengar kabar bahwa kau masih berkabung, setiap kali Marcus mengirim foto-fotomu yang semakin kurus dan berantakan..."

Dia mengangkat wajahnya, matanya merah dan bengkak. "Tapi sekarang semuanya sudah berakhir. Ayahmu akan membusuk di penjara selama 20 tahun. Marcus dan seluruh jaringannya sudah tertangkap. Kasus ini sudah sampai ke KPK dan Interpol." Dia berhenti sejenak, menarik napas dalam. "Aku kembali bukan hanya karena semua sudah aman. Aku kembali karena selama tiga tahun ini, setiap pagi aku bangun dengan satu pikiran: bagaimana bisa aku bernapas di dunia di mana kau tidak tahu aku masih hidup?"

Tangannya terulur ke arahku, gemetar. "Aku tahu aku tidak pantas mendapat maafmu. Tapi kumohon... izinkan aku menjelaskan semuanya. Bukan untuk meminta kembali apa yang sudah kuhancurkan, tapi agar kau tahu bahwa setiap detik kepura-puraan ini adalah neraka bagiku. Karena mencintaimu - dan melukai hatimu - adalah siksaan terberat yang pernah kualami."

Keheningan menyelimuti kami. Di luar, matahari mulai tenggelam, menciptakan bayangan panjang yang semakin gelap.

"Bagaimana aku bisa mempercayaimu lagi?" tanyaku akhirnya. "Bagaimana aku bisa yakin ini bukan kebohongan lain?"

"Aku tidak memintamu untuk langsung memaafkanku," jawabnya pelan. "Aku hanya ingin kau tahu kebenarannya. Dan jika suatu hari nanti kau bisa memaafkanku, mungkin kita bisa memulai lagi. Bukan sebagai Luna dan Aldi yang dulu, tapi sebagai orang yang berbeda."

Aku menatap wanita di hadapanku. Wajahnya mungkin berbeda, tapi matanya - mata itu masih sama. Mata yang membuatku jatuh cinta bertahun-tahun lalu.

"Aku tidak tahu," jawabku jujur. "Aku perlu waktu."

Dia mengangguk pelan, mengambil tasnya dan berdiri. "Aku mengerti. Kau tahu di mana menemukanku jika kau siap bicara lagi."

Ketika dia berjalan keluar dari kafe, aku tetap duduk di tempatku, menatap dua cangkir kopi yang mulai dingin di atas meja. Sama seperti tiga tahun lalu, aku kembali dihadapkan pada pilihan. Tapi kali ini, pilihannya bukan antara cinta lama dan baru, melainkan antara memaafkan atau melepaskan.

Matahari telah sepenuhnya tenggelam ketika aku akhirnya beranjak dari kursiku. Di luar, lampu-lampu kota mulai menyala satu per satu, seperti bintang-bintang yang mencoba menerangi kegelapan. Mungkin itu yang sedang kulakukan sekarang - mencoba mencari cahaya di tengah kegelapan yang telah menyelimuti hidupku selama tiga tahun terakhir.

Aku melangkah keluar kafe, membiarkan angin malam menyapu wajahku. Entah ke mana langkahku akan membawaku, tapi setidaknya sekarang aku tahu satu hal: kadang-kadang, cinta bukan tentang memilih antara yang lama dan yang baru, tapi tentang keberanian untuk memulai lagi, dengan segala luka dan pengampunan yang kita bawa.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun