Mohon tunggu...
Syahrial
Syahrial Mohon Tunggu... Guru - Guru Madya

Belajar dari menulis

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Pertemuan Kedua

5 Januari 2025   05:02 Diperbarui: 5 Januari 2025   05:02 103
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Di dalam amplop itu, aku menemukan foto-foto dan dokumen. Foto-foto dari rumah sakit di Singapura, dokumen operasi plastik, dan sebuah surat. Surat yang ditulis dengan tulisan tangan yang sangat kukenal.

"Maafkan aku, Aldi," dia berbisik, air mata mengalir di pipinya. "Aku Luna. Aku masih hidup."

Duniaku runtuh seketika. "Kenapa?" hanya itu yang bisa kuucapkan.

"Malam itu..." Aria - tidak, Luna - mengeluarkan sebuah flashdisk dari kalungnya. Tangannya gemetar. "Aku sedang membereskan berkas-berkas lama di ruang kerja ayahmu ketika menemukan folder tersembunyi dalam komputer kantornya. Awalnya kukira hanya dokumen biasa, tapi kemudian..." Dia menelan ludah, matanya menyiratkan ketakutan yang sama seperti yang kulihat tiga tahun lalu.

"Di dalamnya ada bukti transfer dana sebesar 50 miliar rupiah ke rekening-rekening asing. Proposal-proposal fiktif, mark-up anggaran pembangunan rumah sakit, hingga suap untuk tender-tender pemerintah. Semuanya terkoneksi ke satu nama: ayahmu." Dia menggenggam tanganku, dingin dan bergetar. "Tapi bukan itu yang paling mengerikan."

Luna menarik napas dalam. "Aku menemukan email-email ancaman. Seseorang bernama Marcus - tangan kanan ayahmu - sudah mencurigai aku tahu terlalu banyak. Dia mengirim foto-fotoku saat di kantor, di supermarket, bahkan saat kita makan malam di rumah. Mereka mengawasiku selama berbulan-bulan."

Air mata mulai mengalir di pipinya. "Malam sebelum 'kecelakaan' itu, Marcus menemuiku. Dia membawa sebuah pilihan: menghilang dan membiarkanmu hidup dalam kedukaan, atau mati - dan kau akan menyusul tak lama kemudian. Dia menunjukkan foto-foto penembak bayaran yang sudah mengawasimu selama berminggu-minggu."

"Aku punya waktu 24 jam untuk memutuskan. Mereka sudah menyiapkan semuanya - identitas baru, operasi plastik di Singapura, bahkan 'kecelakaan' yang sempurna." Suaranya pecah. "Bagaimana mungkin aku memilih? Tapi kemudian aku ingat janji pernikahan kita - untuk selalu melindungi satu sama lain. Maka kubiarkan mereka membakar mobilku, menghancurkan hidupku, menghapus semua yang pernah kumiliki... agar kau tetap hidup."

Dia menatapku dengan mata yang sama - mata yang selalu membuatku jatuh cinta berulang kali. "Selama tiga tahun aku mengumpulkan bukti, membangun jaringan, dan perlahan membongkar kejahatan mereka dari balik layar. Sebulan lalu, ketika ayahmu akhirnya ditangkap, aku tahu sudah waktunya pulang. Tapi..." dia tersenyum getir, "bagaimana aku bisa menjelaskan pada suamiku bahwa aku memilih untuk 'mati' demi menyelamatkannya?"

Tawa pahit meluncur dari bibirku, menggema di ruangan yang mendadak terasa terlalu sempit. "Melindungiku?" Suaraku bergetar menahan amarah yang sudah kupendam selama tiga tahun. "Kau tahu berapa kali aku hampir mengakhiri hidupku? Berapa malam aku terbangun mencarimu di setiap sudut rumah? Berapa botol whiskey yang kuteguk untuk menghapus bayanganmu?"

Aku berdiri, mendorong kursiku ke belakang dengan kasar hingga beberapa pengunjung menoleh. "Kau pikir kau melindungiku? Dengan membiarkanku tenggelam dalam rasa bersalah, mengira akulah penyebab kematianmu? Tiga tahun, Luna. Tiga tahun aku mengutuk diriku sendiri, bertanya-tanya apa yang kulakukan salah sampai kau pergi dariku dengan cara seperti itu!"

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun