Rahmat hanya mengangguk sambil mengusap keringat di dahinya. Pandangannya sejenak teralihkan pada sanggar di ujung desa, tempat kenangan perjuangannya bersama Mang Ujang berputar kembali. Lima tahun lalu, mereka nyaris menyerah mempertahankan sanggar itu ketika anak-anak muda mulai meninggalkan desa untuk mencari peruntungan di kota. Tapi mereka tahu, dongkari—kesenian tradisional yang memadukan tari, musik, dan cerita rakyat—adalah jiwa Cihanjuang, sesuatu yang tidak boleh mati.
"Mending kita main di halaman saja," usul Rahmat. Suaranya mantap, memotong keraguan yang menggantung di udara. "Seperti dulu, di bawah pohon randu."
Pandangan Rahmat menyapu halaman balai desa yang luas. Pohon randu tua di sudut halaman berdiri kokoh, seperti saksi bisu perjalanan panjang sanggar ini. Bayangan masa lalu melintas di benaknya, saat ia dan teman-temannya tampil di sana dua puluh tahun lalu. Tidak ada panggung, hanya cahaya obor dan semangat membara.
Tanpa banyak kata, warga segera beralih ke halaman. Lingkaran besar mulai terbentuk, dengan pemain gamelan mengambil posisi di bawah pohon randu. Anak-anak duduk di barisan depan, mata mereka berbinar-binar menunggu pertunjukan dimulai. Euis, dibantu para ibu lainnya, berkeliling membagikan gorengan dan bandrek hangat kepada para penonton. Kehangatan terasa mengalir, bukan hanya dari minuman, tetapi dari semangat gotong royong yang menghidupkan malam itu.
"Bapa duluan yang buka cerita," pinta Mang Ujang, menyerahkan tongkat kayu simbolis kepada Rahmat.
Rahmat melangkah ke tengah lingkaran. Suara gamelan mulai mengalun lembut, seperti angin yang membawa aroma nostalgia. Dengan nada penuh wibawa, ia mulai bercerita tentang Prabu Geusan Ulun, raja Sumedang Larang yang bijaksana. Penonton terhanyut, mengikuti alur ceritanya yang hidup dengan sisipan lelucon ringan.
Ponselnya bergetar lagi. Sebuah pesan video masuk dari adiknya di Jakarta, menampilkan kembang api yang meledak di langit kota, musik keras, dan kerumunan orang yang terlihat asing satu sama lain. Rahmat memandangi layar sejenak sebelum tersenyum tipis dan memasukkan ponselnya kembali ke saku.Â
Di hadapannya, warga Cihanjuang duduk melingkar seperti satu keluarga besar. Anak-anak tertawa lepas, para tetua tersenyum tenang, dan alunan gamelan menyatu dengan suara alam yang menenangkan. Tiang bambu yang sempat roboh kini berdiri tegak, menjadi simbol kebersamaan yang tak tergoyahkan.
Ketika jarum jam menunjukkan tengah malam, semua berhenti sejenak. Tidak ada kembang api mewah, hanya cerawat sederhana yang dinyalakan anak-anak. Langit dipenuhi bintang, dan warga bersama-sama mengucapkan, "Wilujeng warsa enggal."
Rahmat menatap ke langit. Lima tahun lalu, ia pernah ragu apakah keputusan untuk bertahan di Cihanjuang adalah langkah yang tepat. Tapi malam ini, di bawah pohon randu yang penuh cerita dan di tengah lingkaran warga yang saling menopang, ia tahu jawabannya.
Di sini, Rahmat menemukan arti sejati dari rumah. Tempat ini bukan hanya tanah tempat ia berpijak, tetapi jiwa yang memeluknya dengan kehangatan yang tak pernah ia temukan di kota. Di Cihanjuang, ia tak hanya bertahan—ia hidup.