Rahmat menggeleng pelan tanpa berkata apa-apa. Tatapannya terpaku pada amplop itu, seolah berharap jawabannya tertulis di dalamnya. Dari kejauhan, alunan gamelan terdengar sayup-sayup dari sanggar seni di balai desa, diiringi sorak anak-anak yang sedang berlatih dongkari. Aroma nasi timbel dan sambal oncom dari dapur bercampur dengan wangi tanah basah seusai hujan sore.
Euis duduk di sampingnya, meletakkan teh di meja kecil. "Di Bandung gajinya pasti lebih besar," katanya hati-hati. Ia menatap wajah suaminya yang suram, mencoba membaca apa yang tersembunyi di balik diamnya.
"Tapi..." lanjut Euis, namun Rahmat memotongnya.
"Tapi di sini ada sesuatu yang tidak bisa dibeli dengan uang," gumam Rahmat sambil menggenggam amplop itu lebih erat. Suaranya rendah, tetapi penuh keyakinan.
Euis tersenyum tipis, meski sorot matanya menunjukkan kegelisahan. "Aku tahu, Kang. Tapi sampai kapan kita bisa bertahan dengan hanya ‘sesuatu’ itu?"
Rahmat terdiam. Kata-kata istrinya menggantung di udara, seperti pertanyaan yang tak membutuhkan jawaban. Ia memandangi sawah yang ia cintai, mendengar alunan gamelan yang seolah berbicara langsung ke hatinya, dan mencium aroma masakan yang mengingatkannya pada akar-akar kehidupannya di sini.Â
Malam itu, saat cahaya senja sepenuhnya menghilang, Rahmat tahu bahwa keputusannya bukan sekadar soal memilih pekerjaan. Ia sedang memutuskan arah hidupnya—antara bertahan untuk menjaga tradisi dan cita-cita desanya atau meninggalkan semuanya demi kenyamanan materi. Amplop putih itu masih ada di tangannya, namun hati Rahmat sudah mulai memetakan jalan yang akan ia tempuh.Â
Kembali ke masa kini...
"Satu, dua, tiga, angkat!" Rahmat memberi aba-aba dengan suara lantang, menggugah semangat para pemuda yang berkeringat mengangkat tiang bambu yang sebelumnya roboh. Suasana malam tahun baru di Cihanjuang yang sempat kacau mulai terkendali, meski sisa-sisa kepanikan masih terlihat di wajah beberapa warga.
Di sekelilingnya, desa kecil itu menjadi hidup. Para ibu sibuk menenangkan anak-anak yang menangis karena kecewa pertunjukan tertunda. Beberapa pemuda cekatan membangun panggung darurat dengan bambu cadangan dari gudang balai desa, sementara para tetua desa saling berdiskusi mencari solusi terbaik.
"Untung tidak ada yang terluka," kata Mang Ujang, ketua sanggar dongkari, sambil menepuk pundak Rahmat. Wajahnya yang biasanya penuh senyum kini menyiratkan kelegaan bercampur keletihan.