Malam tahun baru di Cihanjuang yang biasanya dipenuhi tawa dan antusiasme mendadak berubah menjadi kekacauan. Tiang bambu panggung pertunjukan di balai desa ambruk dengan suara keras, membuyarkan semangat persiapan acara. Lampu-lampu hias bergoyang liar, beberapa jatuh dan pecah di atas lantai tanah. Suara riuh warga bercampur dengan tangisan anak-anak yang ketakutan, sementara asap dari panggung yang rusak mengepul ke udara malam.
Rahmat, pria paruh baya yang menjadi ketua panitia acara, berdiri terpaku di tengah hiruk-pikuk. Ponselnya terus bergetar di tangan, layar menampilkan deretan pesan dari adiknya di Jakarta. "Kak, kita butuh keputusanmu sekarang! Ini masalah penting!" bunyi salah satu pesan. Namun, mata Rahmat tak lepas dari panggung yang porak-poranda, di mana beberapa pemuda desa berusaha mengangkat tiang yang ambruk.
"Pak Rahmat! Cepat bantu angkat tiangnya!" teriak salah seorang warga, memecah lamunannya.
Rahmat tersentak, tapi tubuhnya seolah tak mau bergerak. Suara bising di sekitarnya mulai memudar, tergantikan oleh kenangan lima tahun silam yang tiba-tiba menyeruak seperti film yang diputar ulang di kepalanya. Saat itu, Rahmat dihadapkan pada pilihan berat—tinggal di desa demi menjaga tradisi keluarganya atau merantau ke kota untuk mengejar mimpi yang sudah lama ia kubur.
Namun malam ini, kekacauan di balai desa seolah membawa Rahmat kembali pada momen-momen penuh penyesalan itu. Teriakan warga kembali menyadarkannya. Dengan napas yang berat, ia memasukkan ponsel ke saku, menghampiri para pemuda yang berjuang membetulkan tiang.
"Jangan panik! Kita bisa atasi ini," ujar Rahmat dengan suara lantang.Â
Tapi jauh di lubuk hatinya, Rahmat tahu, panggung yang ambruk hanyalah awal dari badai yang lebih besar—bukan hanya di desa ini, tetapi juga di kehidupannya yang selama ini ia abaikan. Dan malam itu, di bawah gemerlap bintang yang terhalang asap, ia menyadari bahwa tahun baru ini bukan hanya soal pesta desa, tapi juga soal keberaniannya untuk menghadapi masa lalu dan membuat keputusan baru.
Lima tahun yang lalu...
Senja merangkak turun di atas hamparan sawah bertingkat Cihanjuang, melukis langit dengan semburat jingga yang perlahan meredup. Rahmat duduk termenung di beranda rumahnya, memandangi amplop putih di tangannya. Isinya—tawaran kerja dari sepupunya di Bandung—terasa seperti duri kecil yang terus menusuk pikirannya. Di bawah sana, pematang sawah yang baru saja ia tanami padi varietas lokal bersinar keemasan, bayangan panjang dari pepohonan menari-nari di atas air yang tenang.
"Kang," suara lembut Euis, istrinya, memecah kesunyian. Ia muncul dari balik pintu, membawa secangkir teh hangat yang mengepul. "Sudah diputuskan?"