Subhan tersentak bangun dari tidurnya ketika merasakan guncangan hebat. Gempa bumi dahsyat mengguncang Bawean dini hari itu. Ia segera melompat dari tempat tidur, mencari perlindungan di bawah meja. Suara reruntuhan dan teriakan panik terdengar dari segala penjuru.
"Ayah! Ibu!" teriak Subhan panik. Ia baru teringat orangtuanya yang tidur di kamar sebelah. Dengan susah payah ia merangkak keluar dari kamarnya yang berantakan. Pemandangan yang dilihatnya sungguh mengerikan. Rumahnya telah hancur, atap dan dinding runtuh menimpa perabotan.Â
Subhan menemukan ayahnya - Pak Hasan terbaring tak bergerak tertimpa reruntuhan. Ia menyingkirkan puing-puing dengan tangan kosong, berharap menemukan tanda-tanda kehidupan. Namun tubuh ayahnya sudah kaku dan dingin. Tangis Subhan pecah, ia memeluk jasad ayahnya erat.
Suara rintihan lirih terdengar dari sisi lain ruangan. Subhan bergegas menghampiri dan menemukan ibunya - Bu Siti terluka parah. Darah segar mengalir dari kepalanya. Dengan hati-hati Subhan mengangkat tubuh ibunya, membawanya keluar dari reruntuhan rumah.
Pemandangan di luar tak kalah mengerikan. Rumah-rumah tetangganya rata dengan tanah, orang-orang berlarian mencari pertolongan. Subhan membawa ibunya ke posko pengungsian terdekat. Ia membaringkan Bu Siti di tenda darurat, berharap tim medis segera menolongnya.
Namun takdir berkata lain. Luka Bu Siti terlalu parah, ia tak tertolong. Subhan hanya bisa menangis pilu saat melihat tubuh ibunya terbujur kaku di depannya. Dalam sehari, ia kehilangan ayah dan ibunya. Hidupnya hancur lebur bersama gempa yang mengguncang Bawean.
Subhan merasa dunianya runtuh. Kesedihan dan kehilangan menyelimutinya bagai selimut tebal. Ia merasa kesulitan bernafas, seolah dihimpit beban berton-ton. Bagaimana ia harus melanjutkan hidup setelah kehilangan orang-orang yang dicintainya? Mengapa takdir begitu kejam padanya?
Saat mengurus pemakaman orangtuanya, Subhan hanya bisa menatap kosong. Air matanya telah kering, hatinya kebas tak mampu lagi merasakan. Ia ingin menangis, ingin berteriak, namun tak ada suara yang keluar. Subhan merasa hampa, seolah sebagian jiwanya ikut terkubur bersama jasad orangtuanya.
Teman-teman dan kerabat Subhan datang melayat, mengucapkan duka cita. Namun ucapan belasungkawa itu bagai angin lalu di telinga Subhan. Ia tak mampu merespon, hanya mengangguk kecil dengan tatapan kosong. Subhan tahu mereka bermaksud baik, namun kesedihannya terlalu dalam untuk diobati kata-kata.
Malam-malam setelah pemakaman dilaluinya dengan tangisan pilu. Subhan meringkuk di sudut kamar pengungsian, terisak hingga dadanya sesak. Ia ingin memejamkan mata dan berharap semua ini hanya mimpi buruk. Namun setiap kali membuka mata, kenyataan pahit itu kembali menamparnya. Subhan merasa tak punya daya untuk bangkit, tak punya semangat untuk melanjutkan hidup.