Mohon tunggu...
Syahrial
Syahrial Mohon Tunggu... Guru - Guru Madya

Belajar dari menulis

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Titian Harapan

25 Desember 2024   10:48 Diperbarui: 25 Desember 2024   10:48 55
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber foto: CNN Indonesia 

***

Berminggu-minggu setelah gempa, Subhan masih terpuruk dalam duka. Ia menolak bertemu dengan orang-orang, mengurung diri di tenda pengungsian. Makan dan minum pun enggan, tidur tak nyenyak dihantui mimpi buruk. Subhan merasa hidupnya tak lagi berarti, seolah ia ikut mati bersama orangtuanya.

Amir, sahabatnya sejak kecil, tak tahan melihat Subhan terus menerus larut dalam kesedihan. Ia datang mengunjungi Subhan di pengungsian, membawakan makanan dan pakaian bersih. Namun Subhan hanya menatap kosong, enggan merespon kebaikan sahabatnya.

"An, aku tahu kamu sedih. Tapi kamu nggak bisa terus-terusan begini. Ayah ibumu pasti ingin kamu bangkit dan lanjutkan hidup," ujar Amir lembut.

Subhan hanya terdiam, air mata kembali mengalir di pipinya yang cekung. Ia ingin percaya ucapan Amir, namun rasa kehilangan itu terlalu berat untuk dilupakan.

"Dengar, An. Hidup harus terus berlanjut. Kamu harus kuat, demi ayah ibumu di atas sana. Mereka pasti sedih melihatmu terpuruk begini," Amir kembali membujuk.

Perlahan, ucapan Amir menyentuh hati Subhan yang beku. Ia mulai menyadari bahwa orang tuanya tak ingin ia larut dalam kesedihan selamanya. Mereka pasti ingin melihatnya bangkit dan meraih mimpi-mimpinya.

Subhan pun mulai membuka diri. Ia kembali berinteraksi dengan orang-orang di pengungsian, berbagi cerita dan kesedihan. Ia menyadari bahwa tak hanya dirinya yang menderita, banyak orang lain yang juga kehilangan keluarga dan tempat tinggal. Mereka saling menguatkan, saling memberi semangat untuk bangkit.

Perlahan tapi pasti, Subhan mulai menemukan kembali semangat hidupnya. Ia mulai terlibat dalam kegiatan di pengungsian, membantu mereka yang membutuhkan. Ia juga rajin mengikuti sesi konseling yang diadakan oleh tim trauma healing, belajar menerima dan merelakan kepergian orangtuanya.

"Ayah, Ibu, maafkan Subhan yang sempat putus asa. Subhan janji akan bangkit dan raih mimpi-mimpi kita. Subhan akan buat Ayah Ibu bangga di atas sana," bisik Subhan lirih.

Keesokan harinya, Subhan membereskan barang-barangnya di tenda pengungsian. Ia telah membulatkan tekad untuk pindah ke Gresik, memulai hidup baru. Dengan bantuan Amir dan teman-teman barunya, Subhan berhasil mendapat pekerjaan dan tempat tinggal sederhana.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun