"Datang saja," Pak Adi menimpali. "Saya juga sering nongkrong di sini tiap Sabtu. Sekalian berbagi ilmu. Di Bandung, berbagi itu sudah jadi budaya. Seperti secangkir kopi yang lebih nikmat kalau dinikmati bersama."
Sejak sore yang basah itu, Kanvas Kopi menjadi tempat favorit baru Sarah dan Maya. Setiap Sabtu, mereka duduk di sudut yang sama, melukis Bandung dari berbagai perspektif. Kadang pemandangan Dago yang basah oleh hujan, kadang hiruk-pikuk Jalan Riau di pagi hari, atau wajah-wajah ramah yang mereka temui di sepanjang jalan.
Maya bahkan mulai memadukan hobinya - memotret objek dulu, baru melukisnya di atas kanvas. Sarah lebih suka melukis langsung, menangkap momen spontan dengan goresan kuasnya. Dua gaya berbeda yang sama-sama indah.
"Seperti kata pepatah Sunda," Pak Rahmat sering mengingatkan, "'Sakeudap hujan, sataun tunas.' Sebentar hujan, setahun tumbuh."
Dan memang benar. Hujan di Dago yang awalnya seperti pengganggu, justru membuka jendela baru dalam hidup mereka. Dari setetes hujan, tumbuh passion baru yang mengubah cara mereka melihat dan menghargai keindahan Bandung.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H