"Nanti kamu juga akan terbiasa dengan kehidupan di sini," kata Rizal sambil membelai rambutku yang dibalut hijab biru muda. Tangan hangatnya yang lembut menyentuh rambutku, memberikan rasa tenang yang kurindukan setelah kepindahan kami dari Jakarta. Aku mengangguk pelan, mataku tak bisa lepas dari hamparan laut yang terbentang luas di depan rumah kami.Â
Laut Belitung, dengan airnya yang berkilau keemasan di bawah sinar matahari pagi, seolah mengundang hati untuk terpesona. Pemandangan itu benar-benar menggetarkan, menenangkan hati yang semula risau dengan perubahan besar dalam hidup kami. Rumah kami, yang terletak di Tanjung Kelayang, menghadap langsung ke laut, dengan batu granit besar yang menjadi ikon Belitung di kejauhan. Batu-batu granit itu tampak seperti penjaga yang setia, berdiri kokoh meskipun dihantam ombak yang tak pernah berhenti. Ini adalah tempat yang seakan-akan muncul dari mimpi, sebuah ketenangan yang sulit ditemukan di Jakarta, sebuah ruang yang memberi kedamaian jiwa.
Baru dua minggu kami pindah dari kota metropolitan itu. Rizal dipindahtugaskan ke kantor cabang tempatnya bekerja di Belitung. Awalnya, aku ragu, keraguan yang tumbuh seiring dengan ketidakpastian hidup di tempat yang asing. Hidup di Jakarta dengan segala hiruk-pikuknya memberikan kenyamanan tersendiri, meskipun aku tahu kami membutuhkan perubahan.Â
Di Jakarta, kehidupan kami seperti roda yang terus berputar tanpa henti. Pagi dimulai dengan deru kendaraan di jalan raya yang padat, sementara malam diakhiri dengan lampu-lampu kota yang berkelap-kelip, seolah tak pernah benar-benar tidur. Segala sesuatu terasa serba cepat dan mendesak. Ada kelebihan, tentu saja---kemudahan akses ke segala hal, mulai dari pusat perbelanjaan modern hingga fasilitas kesehatan terbaik. Namun, di balik semua itu, ada kelelahan yang sering kali tak terucapkan, seakan-akan kami terus berlari mengejar waktu yang tak pernah cukup.
Belitung, di sisi lain, adalah dunia yang sepenuhnya berbeda. Suasana di sini jauh lebih tenang, nyaris terasa lambat jika dibandingkan dengan Jakarta. Pagi hari dimulai dengan suara burung berkicau, udara segar yang belum tercemar, dan pemandangan pantai yang memukau. Tidak ada kemacetan, tidak ada desakan orang-orang yang berlomba-lomba mengejar sesuatu. Namun, aku harus mengakui, di balik keindahannya, ada keterbatasan. Tidak semua kebutuhan mudah ditemukan, dan hiburan modern hampir tidak tersedia. Belitung menawarkan kesederhanaan, tetapi menuntut kami untuk menyesuaikan diri dengan ritme yang baru.
Jakarta memberikan kenyamanan melalui modernitasnya, sementara Belitung menawarkan kedamaian melalui kealamiannya. Keduanya memiliki daya tarik masing-masing, dan aku sadar, proses pindah ini bukan sekadar perubahan tempat tinggal. Ini adalah perjalanan untuk menemukan keseimbangan baru dalam hidup kami.Â
Namun, begitu aku tiba di sini dan melihat betapa indahnya pulau ini, semua keraguan itu mulai pudar. Keindahan alamnya, dengan laut yang tenang dan penduduk yang ramah, perlahan-lahan membuatku jatuh cinta pada Belitung. Aku menyadari, tempat ini menawarkan lebih dari sekadar ketenangan fisik, tapi juga kedamaian batin yang tak bisa kubayangkan sebelumnya.
Pagi ini, setelah Rizal berangkat kerja, aku memutuskan untuk menata kebun kecil di halaman. Udara Belitung yang hangat dan segar, yang sedikit lebih lembab karena musim hujan yang baru berlalu, terasa sangat cocok untuk menanam bunga-bunga tropis. Kami telah membeli beberapa bibit kembang kertas, melati, dan bunga raya dari pasar tradisional Tanjung Pandan. Aku membayangkan kebun kecil ini akan menjadi tempat yang penuh warna, dengan bunga-bunga tropis yang merekah seiring berjalannya waktu. Rasanya, setiap inci tanah di halaman ini adalah kesempatan untuk menumbuhkan kenangan baru di pulau ini, seperti tanaman yang mulai berakar, tumbuh, dan mekar mengikuti perjalanan waktu yang kami jalani.
Saat sedang menanam, aku mendengar suara mobil berhenti di rumah sebelah. Aku menoleh, dan melihat seorang bapak berusia sekitar 60 tahun turun membawa beberapa kantong belanjaan. Pak Iskandar, tetangga kami yang kata Rizal adalah mantan kapten kapal yang sudah pensiun, tampak berjalan pelan dengan postur tubuhnya yang tegap, meski usianya sudah tidak muda lagi. Seakan-akan, meski tubuhnya tak lagi muda, semangatnya masih membara seperti saat dia berada di atas kapal yang mengarungi luasnya laut. Dia tinggal bersama istrinya, Bu Mariam, yang belum pernah kutemui sebelumnya.
"Selamat pagi, Dik!" sapanya dengan logat Melayu yang kental, terdengar ramah dan bersahabat. Suaranya yang khas seolah menyambutku dengan kehangatan khas Belitung. "Sudah mulai betah di Belitung?"
"Alhamdulillah, Pak," jawabku sambil tersenyum, meskipun dalam hati aku merasa masih ada banyak yang harus kutelusuri di pulau ini. "Belitung indah sekali."
"Nanti harus ketemu sama istri saya. Dia pintar masak masakan Belitung. Bisa belajar bikin gangan, rusip, sama rintak," katanya bersemangat, matanya berbinar-binar. "Dia senang kalau ada yang mau belajar masakan tradisional." Suaranya yang hangat dan bersahabat seolah mengundang untuk berbincang lebih lama, menawarkan dunia baru yang penuh kehangatan dan cerita-cerita tentang Belitung.
Aku membayangkan bisa memiliki teman baru di sini, belajar masakan Belitung yang kaya rasa, dan mendengar cerita-cerita tentang pulau ini. Mungkin kami bisa bertukar resep atau sekadar ngobrol sore-sore sambil menikmati kopi pasir khas Belitung, menikmati suasana santai yang baru kubayangkan, dengan angin laut yang berbisik lembut di telinga.
Minggu berikutnya, Rizal mengajakku bertamu ke rumah Pak Iskandar. Aku membawa lepat singkong yang baru kupelajari membuatnya dari tutorial Youtube. Aku merasa bangga dengan hasil masakanku, meskipun sederhana, tapi terasa lebih bermakna karena bisa berbagi dengan orang baru. Rizal memandangku dengan senyum bangga, seolah bangga dengan hasil masakanku yang sederhana itu. Pak Iskandar menyambut kami dengan senyum hangat khas orang Melayu, senyum yang tulus, membuat siapa pun merasa diterima tanpa syarat.
"Bu Mariam pasti senang ada yang bawa lepat," katanya, sambil melambaikan tangan. "Dia ada di beranda belakang."
Kami mengikuti langkah Pak Iskandar menuju beranda belakang rumah, yang menghadap langsung ke laut. Angin laut yang berhembus perlahan membawa aroma asin yang khas, membawa kesejukan yang langsung terasa menenangkan. Di sana, aku melihat seorang wanita duduk di kursi roda. Rambutnya putih digelung rapi, wajahnya teduh dengan guratan-guratan kebijaksanaan, memancarkan kedamaian yang luar biasa. Usianya mungkin sekitar 60 tahun, namun matanya masih menyimpan kilau kehidupan yang dalam, seolah setiap detik hidupnya penuh makna. Aku tak bisa menahan diri untuk merasa kagum pada ketenangan yang terpancar dari dirinya.
"Mariam, ini tetangga baru kita," kata Pak Iskandar dengan suara lembut, sambil mengarahkan tangannya ke arahku.
Bu Mariam tersenyum dengan senyum yang sangat hangat, senyum yang mampu menghangatkan hati siapapun yang melihatnya. Matanya berbinar melihat lepat yang kubawa. "Masyaallah, sudah lama tak makan lepat. Terakhir sebelum stroke tiga tahun lalu," katanya dengan suara lembut yang penuh rasa terima kasih, matanya tampak berkaca-kaca. Hatiku langsung terenyuh mendengar cerita itu. Ternyata, sebatang lepat singkong sederhana pun bisa membawa kebahagiaan bagi seseorang.
Hatiku tersentuh mendalam melihat cara Pak Iskandar merawat istrinya. Dia memotong lepat dengan hati-hati dan menyuapinya perlahan, seolah setiap suapan adalah bentuk kasih sayang yang tak terucapkan. Mereka berdua bercerita tentang masa muda mereka, saat Pak Iskandar masih menjadi kapten kapal timah yang menjelajahi laut Belitung. Bu Mariam selalu setia menunggu di rumah ini, menatap laut sambil berharap suaminya pulang dengan selamat, sebuah gambaran cinta yang tidak terucap, namun begitu kuat terasa.
"Pak Is selalu bilang aku ini cantik seperti putri raja Balok," kata Bu Mariam dengan tawa kecil yang penuh kelembutan, merujuk pada legenda Belitung yang terkenal. Pak Iskandar menggenggam tangannya dengan penuh sayang, matanya berbinar, dan senyumannya tulus, seperti seorang pria muda yang sedang jatuh cinta untuk pertama kalinya, meski usia mereka telah menua.
"Memang betul, sampai sekarang masih secantik dulu," sahut Pak Iskandar sambil tersenyum, suaranya penuh dengan kelembutan dan ketulusan yang tidak bisa disembunyikan. Mereka berdua tampak seperti dua jiwa yang saling melengkapi, bahkan setelah bertahun-tahun bersama.
Kami menghabiskan beberapa jam di sana, berbicara tentang masa lalu, tentang Belitung, dan tentang hidup yang sudah jauh lebih sederhana setelah masa-masa sibuk berlalu. Di setiap cerita yang mereka bagikan, aku bisa merasakan betapa besar cinta mereka, yang telah teruji oleh waktu. Cinta yang tak lekang dimakan usia, yang semakin kuat seiring berjalannya waktu, seperti batu granit Belitung yang kokoh dan tak tergoyahkan oleh badai kehidupan.
Dalam perjalanan pulang, aku memeluk lengan Rizal dengan erat. "Makasih ya, sudah membawaku ke Belitung," kataku dengan suara yang penuh haru, seolah hati ini ingin mengungkapkan lebih banyak kata yang tidak terucapkan.
"Kenapa tiba-tiba?" tanya Rizal, terkejut dengan perubahan ekspresiku.
"Aku baru saja melihat definisi cinta yang sesungguhnya," jawabku, mataku berkaca-kaca, seolah setiap emosi yang belum sempat diungkapkan kini muncul begitu saja. "Yang tidak luntur dimakan waktu."
Sejak itu, aku sering mengunjungi Bu Mariam. Kadang aku membawakan kue, atau sekadar menemaninya di beranda sambil mendengarkan cerita-cerita tentang Belitung tempo dulu, tentang masa-masa sulit dan indah yang mereka lalui bersama. Pak Iskandar selalu ada di sisinya, merawatnya dengan sabar dan penuh kasih. Tak pernah sekalipun kudengar dia mengeluh tentang peranannya sebagai suami yang setia.
Dari mereka, aku belajar bahwa cinta sejati itu seperti batu granit Belitung -- kokoh dan tak tergoyahkan oleh badai kehidupan. Cinta adalah tentang kesetiaan yang tak lekang oleh waktu, tentang bertahan dalam setiap ujian yang datang, tentang menerima pasangan apa adanya, dan yang terpenting, cinta adalah tentang menemukan kebahagiaan dalam kesederhanaan hidup bersama, seperti deburan ombak yang setia menyapa pantai setiap harinya.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H